PSdK UGM Gelar Diskusi, Persoalkan Partisipasi Publik dalam Demokrasi

Yogyakarta, 30 April 2025—Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), Universitas Gadjah Mada menggelar studi kritik kebijakan dan partisipasi publik pada Selasa (30/4). Mengusung tema “Jalan Panjang Demokrasi: Kebijakan Tanpa Kebajikan”, acara ini menghadirkan sejumlah pakar di bidang politik, hukum, dan perwakilan pemerintah guna membahas kedaulatan dan keterlibatan masyarakat dalam praktik demokrasi negara saat ini.

Juru Bicara Kantor Komunikasi Presiden Republik Indonesia, Dedek Prayudi, B.A, M.Sc menegaskan, pemerintah sudah memberikan ruang bagi partisipasi publik pada proses perumusan kebijakan. Ia mencontohkan kasus kenaikan pajak 12% yang langsung menuai protes dari masyarakat. “Saat itu saya mendapat protes dari masyarakat, saya rekam dan saya sampaikan. Kemudian kami ubah skemanya hingga tidak terjadi kenaikan PPN itu,” ucapnya. Adanya perubahan tersebut adalah bukti bahwa pemerintah sangat memertimbangkan aspirasi masyarakat.

Lebih lanjut, ia memberikan gambaran terhadap beberapa kebijakan yang diambil berdasarkan kondisi di masyarakat. Contohnya program Makan Bergizi Gratis. Program ini diinisiasi oleh Presiden Prabowo setelah melihat tingginya tingkat stunting dan kekurangan gizi anak Indonesia. Akar masalahnya memang kompleks, namun salah satunya adalah karena masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan gizi anak dalam keluarga. Maka dibuatlah program MBG. Menurut Dedek, praktik demokrasi yang dilakukan pemerintah sudah lebih dari sekedar prosedural.

Menanggapi ujaran Dedek, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., L.L.M, Dosen Hukum UGM menjelaskan bahwa partisipasi publik adalah satu-satunya aspek yang membedakan sistem demokrasi dengan sistem lainnya. “Kebijakan atau undang-undang yang melibatkan publik, biasanya umurnya akan lebih panjang dan tidak mudah diganti. Nah, di kita itu tidak dijalankan,” papar Zainal. Dalam pendapatnya, praktik demokrasi di tingkat Mahkamah Konstitusi dan undang-undang selama ini belum dipenuhi. Ia mengaitkan dengan elemen-elemen masyarakat yang tidak semuanya bisa berpartisipasi dan dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan.

Zainal juga menyebut pemerintah lebih sering mengambil langkah ‘pemadam kebakaran’ seperti sejumlah kebijakan kontroversial akhir-akhir ini. Diawali dengan perumusan kebijakan yang tidak melibatkan masyarakat, ketika dipublikasi menimbulkan protes, baru dibatalkan. Belum ada upaya komunikasi dari pemerintah ke masyarakat mengenai perumusan kebijakan ataupun pertimbangan sesuai kebutuhan masyarakat. Perlu ada upaya strategis dan sistematis bagi pemerintah untuk memperluas partisipasi publik.

Sejalan dengan itu, Dr. Media Wahyudi Askar, M.Sc., Ph.D mengatakan pemerintah memiliki gaya berbeda dalam merumuskan kebijakan. Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM tersebut menjelaskan perumusan kebijakan idealnya diawali dengan perencanaan, pertimbangan publik, baru implementasi. Berbeda jauh dengan apa yang dilakukan pemerintah saat ini.  “Siklusnya berubah. Pak Prabowo dan tim melahirkan siklus baru. Dimulai dengan instruksi, lompat langsung implementasi, kemudian nunggu reaksi publik,” terangnya.

Mengerucut pada efisiensi anggaran oleh pemerintah, Wahyudi mempertanyakan tujuan dari efisiensi tersebut. Memang pemerintah menjelaskan langsung bahwa efisiensi ditujukan untuk mengelola program MBG dan sebagian diteruskan ke Danantara. Tetapi mengingat dampak luar biasa dari efisiensi ini, Wahyudi meragukan adanya upaya pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam kebijakan tersebut.

Secara lebih luas, Tauchid Komara Yuda, S.Sos., MDP menarik kesimpulan dari banyaknya protes masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Ia mengakui bahwa proses perumusan kebijakan tidak mudah di negara demokrasi, baik secara prosedur maupun informal. Tapi tidak seharusnya aspek prosedural diabaikan hingga mengakibatkan banyak masalah-masalah informal yang muncul dan mendisrupsi ruang partisipasi publik. 

Diskusi bersama yang diinisiasi oleh Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) ini tidak hanya sebagai wadah aspirasi, namun juga jembatan komunikasi pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah diharapkan bisa mengubah cara pandang terhadap partisipasi publik. Baik sebagai landasan perumusan kebijakan maupun syarat penting dalam praktik demokrasi. (/tsy)