Para Pakar Multidisipliner, Soroti Kerentanan Pekerja Gig di Tengah Masifnya Kecerdasan Buatan dalam Diskusi Digital Expert Talk CfDS UGM

Yogyakarta, 6 Mei 2025–Masih dalam momentum hari Buruh, CfDS kembali menyelenggarakan diskusi yang bertajuk, “Masa Depan Pekerja Gig di Tengah Gelombang AI”. Acara ini turut mengundang para pakar dari berbagai bidang yang menghadirkan : Arif Novianto (Peneliti Gerakan Pekerja Gig); Ayom Mratita Purbandani (Peneliti CfDS); Luqman-nul Hakim (Peneliti Politik dan Tata kelola Global); Nabiyla Risfa Izzati (Peneliti Hukum Ketenagakerjaan), serta Suci Lestari Yuana (Peneliti Ekonomi Politik Platform Digital). Diskusi kali ini sekaligus menandai peluncuran Lingkar Studi AI dan Pekerja Gig yang berkolaborasi bersama Institute of International Studies (IIS UGM). 

Diskusi ini dibuka dengan pertanyaan kritis : “Masa depan AI untuk siapa?” yang meninjau ulang pandangan umum bahwa teknologi bersifat netral. “…padahal kalau kita lihat secara lebih detail, teknologi itu bukanlah sesuatu yang netral secara politik. Ia dibentuk oleh nilai, kepentingan, dan ideologi tertentu. Maka dari itu, penting bagi kita untuk akhirnya mengkritisi, membongkar, dan membayangkan ulang bagaimana AI ini bisa bekerja dengan lebih adil (fair) terutama bagi mereka yang selama ini paling terdampak tapi paling sedikit punya suara,” jelas Suci.

Menyambung dari hal itu, relasi kerja baru juga terbentuk pasca masifnya ekonomi gig terlebih dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI).  Di era sebelumnya, khususnya pada masa kapitalisme industrial relasi kerja bersifat formal, hierarkis, dan bersifat langsung. Relasi tersebut berkembang dan meluas yang tergantikan dengan rating, algoritma, dan fleksibilitas

 “Di hadapan kita,  kondisi kerja yang diklaim sebagai fleksibel yang bebas kerja di mana saja kapan saja itu tidak terjadi gitu karena ada semacam bentuk kontrol ya atau pendisiplinan yang salah satunya dilakukan melalui kecerdasan buatan,” ungkap Arif.

Dari aspek hukum, regulasi ketenagakerjaan dinilai belum adaptif dalam merespons tantangan ekonomi gig di era transformasi digital yang memicu prekariatisasi pekerja gig. “Undang-Undang Ketenagakerjaan kita masih cukup oldies, masih cukup tradisional dibuat di masa di mana pekerjaan-pekerjaan di era future of work ini belum muncul sehingga definisi hubungan kerjanya sangat strict gitu,” tutur Nabiyla. 

Kegagapan negara dalam merespons tantangan ekonomi gig berbasis AI yang semakin kompleks memperparah kerentanan pekerja. Terlebih Aim, menjelaskan bahwa latar belakang hubungan antara capital-negara di Indonesia yang sangat kuat semakin melemahkan gagasan mengenai pentingnya menilik perlindungan sosial bagi pekerja sebagai salah satu indikator penting. Diikuti secara teknis, Ayom juga memaparkan bahwa ekonomi gig berbasis platform secara teknis ditentukan oleh non-human decision yang bekerja dalam sebuah black box yang tidak transparan sehingga rentan terjadinya eksploitasi akibat asimetri informasi antara platform dengan pekerja.