
Yogyakarta, 19 Mei 2025─Dalam dunia yang tengah menghadapi krisis iklim akut, pendanaan iklim seharusnya menjadi wujud solidaritas global—bukan alat baru untuk menjerat negara-negara berkembang dalam utang. Sayangnya, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.
Alih-alih memberikan bantuan tanpa syarat, sebagian besar skema pendanaan iklim justru hadir dalam bentuk utang berbunga yang dikemas rapi dalam istilah “green finance”. Negara-negara berkembang, yang notabene paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, malah dibebani oleh mekanisme pasar yang menyamar sebagai solusi. Ketimpangan ini menggambarkan wajah lain dari krisis global: eksploitasi berbasis logika ekonomi neoliberal.
🔍 Artikel ini mengulas secara tajam:
– Bagaimana pendanaan iklim dijalankan dengan logika pasar, bukan solidaritas.
– Mengapa negara-negara berkembang justru semakin terjebak dalam krisis utang.
– Bagaimana konsep hegemoni ala Gramsci membantu kita memahami dominasi ideologis di balik kebijakan iklim global.
Dengan mengangkat isu ini, tulisan ini selaras dengan semangat SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim), yang mendorong aksi nyata untuk menanggulangi dampak perubahan iklim. Namun, artikel ini juga menjadi pengingat bahwa kemitraan hanya akan bermakna jika dibangun atas dasar keadilan dan kesetaraan—bukan ketimpangan kekuasaan dan jebakan utang.
🌱 Apakah pendanaan iklim benar-benar solusi, atau hanya wajah baru dari penjajahan ekonomi?
Temukan jawabannya dalam artikel lengkap yang memaparkan sisi gelap dari pendanaan iklim berbasis utang. Sebuah bacaan yang menggugah dan membuka mata—wajib dibaca bagi siapa pun yang peduli pada masa depan bumi dan keadilan global.
Artikel selengkapnya dapat dibaca melalui tautan berikut.