
Yogyakarta, 4 Juli 2025—Perkembangan perdagangan dunia menunjukan bagaimana kondisi geopolitik dunia terus berubah. Sektor impor, ekspor, penetapan tariff, hingga konflik antar negara dapat saling memengaruhi pola perdagangan internasional. Dosen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, S.I.P., M.P.P., M.Sc. menulis kajian tersebut dalam buku “Politik Perdagangan Dunia: Dinamika dan Tantangan Terkini”.
Buku ini mendiskusikan tata kelola perdagangan internasional secara umum dan kaitannya dengan isu-isu kontemporer. Termasuk di antaranya adalah isu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta transformasi digital. Poppy menyoroti berbagai pertanyaan seputar arah gerak perdagangan internasional, bagaimana sebuah negara memengaruhi dan dipengaruhi oleh kekuatan tertentu, bahkan keberadaan komitmen penanganan iklim telah menggeser pasar internasional.
Pada bagian awal, buku ini menjabarkan bagaimana perdagangan dipandang dalam lingkup liberalisme dan proteksionisme. Dua sistem ini mengendalikan posisi suatu negara dalam perannya di perdagangan dunia. Tanpa terlepas dari sejarah, bagian selanjutnya juga menjelaskan kelahiran World Trade Organization (WTO) setelah kesepakatan International Trade Organization (ITO) dinilai gagal. “Ada beberapa aspek dalam buku tersebut, pada bagian awal kita bicara sejarah rezim perdagangan dunia di bawah WTO, kemudian bagaimana hal tersebut berpengaruh pada isu-isu kontemporer,” terang Poppy.
Dalam perkembangan masa kini, WTO menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya muncul dari isu energi sebagai salah satu komitmen penanganan perubahan iklim. Sebagaimana diketahui bahwa sumber energi fosil telah lama menjadi komoditas perdagangan negara-negara Asia, Afrika, serta sebagian Amerika dan Eropa. Namun adanya perubahan iklim menyebabkan komoditas tersebut berusaha digantikan oleh sumber energi baru terbarukan yang lebih minim produksi karbon.
“Tentunya WTO ini mengalami tantangan yang lebih kompleks. Termasuk dalam konteks renewable energy ini ada unsur proteksi dan subsidi. Namun saat ini itukan tidak kompatibel dengan tantangan yang ada,” jelas Poppy. Masalah tersebut juga muncul dalam memertahankan prinsip perdagangan bebas WTO. Komoditas ekspor impor dalam proyek energi terbarukan misalnya, WTO mewajibkan keterbukaan dan perilaku non diskriminatif terhadap produk asing dalam perdagangan produk energi. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas pasar dan memberlakukan sistem yang adil.
Pada bagian akhir, buku ini memaparkan tantangan digital dalam perdagangan global. Terbukanya pasar digital membentuk persaingan baru yang jauh berbeda dengan pola perdagangan internasional yang selama ini dilakukan. Sebuah barang dapat dibeli dan dijual dalam jumlah seminimal mungkin dan dalam waktu yang cepat. Kemudahan bertransaksi melalui sistem digital menimbulkan disrupsi dalam sistem pasar. WTO sebenarnya sudah membahas isu ini sejak lama, namun belum ada perjanjian global khusus yang secara komprehensif mengikat bagi negara anggotanya.
Indonesia di tengah ketatnya perdagangan internasional perlu merefleksikan posisinya. Sektor perdagangan internasional bukan hanya sebagai tulang punggung ekonomi, melainkan juga menggambarkan kekuatan, posisi, dan peran Indonesia di mata dunia. “Harapannya buku ini bisa menjadi rujukan dan memberi warna dalam peredebatan yang ada,” ujar Poppy.
Buku Politik Perdagangan Dunia: Dinamika dan Tantangan Terkini dapat dibeli melalui tautan berikut.