Membaca Bumi, Menggugah Kesadaran: Diskusi Buku Bacaan Bumi Hadirkan Perspektif Ekologis bagi Indonesia

Yogyakarta, 24 November 2025─Departemen Sosiologi UGM bersama SOREC, Inside Indonesia, dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia menggelar diskusi buku bertajuk “Bacaan Bumi: Pemikiran Ekologis untuk Indonesia” yang menghadirkan perspektif ekologis bagi Indonesia.

Acara yang diselenggarakan di Auditorium lantai 4 Fisipol UGM ini menghadirkan Prof. Gerry van Klinken selaku penulis sekaligus editor buku Bacaan Bumi, serta dua penanggap, yaitu Dr. Laksmi A. Savitri (Antropolog dan Aktivis Perempuan untuk Keadilan Ekologi) dan Dr. AB. Widyanta (Dosen Sosiologi serta penulis Ekososialisme E.F. Schumacher). Selain itu, diskusi ini dipandu oleh moderator Gregorius Ragil dan diikuti oleh peserta dari kalangan akademisi, mahasiswa, aktivis lingkungan, dan masyarakat umum.

Dalam pemaparannya, Prof. Gerry van Klinken menjelaskan latar belakang penulisan Bacaan Bumi sebagai upaya menghadirkan kembali literatur dan gagasan ekologis yang relevan untuk Indonesia hari ini. Menurutnya, Indonesia membutuhkan perspektif baru dalam melihat hubungan manusia dengan alam bukan hanya dari aspek kerusakan lingkungan, tetapi dari struktur sosial, ekonomi, hingga budaya.

Dr. AB. Widyanta, memberikan respon dari sudut pandang ekososialisme dan sejarah gagasan ekologis. Ia menyoroti bahwa buku Bacaan Bumi tidak hanya merangkum gagasan ekologis, tetapi juga merepresentasikan spektrum filsafat yang luas. “Kita bisa menemukan panpsikisme di dalam buku ini,” ungkap Widyanta merespons salah satu penanya. Menurutnya, keberadaan gagasan tersebut menunjukkan bagaimana pemikiran ekologis memiliki keterhubungan batin dan spiritual yang tak dapat dipisahkan dari manusia. Sementara itu, Dr. Laksmi A. Savitri menyoroti persoalan ekologis dari perspektif keadilan sosial dan keberlanjutan antar-generasi. Baginya, setiap langkah penyelamatan bumi adalah upaya meninggalkan warisan kebijaksanaan bagi generasi berikutnya, bukan hanya jejak kerusakan.

Gerry juga menekankan bahwa hubungan antara manusia dan bumi pernah bersifat kolektif dan mutualistik sebelum logika kapitalisme meresap dalam seluruh sendi kehidupan. “Ada baiknya kita mengingat kembali zaman ketika belum ada kapitalisme kehidupan, yaitu jaring kehidupan, di mana tidak ada yang milik pribadi. Semua saling berbagi di alam, saling terikat dalam nama web of life. Namun, kemudian kita memotong salah satunya untuk menjadikannya sebagai milik pribadi,” ujar Gerry menutup diskusi. Menurutnya, konsep web of life menjadi pijakan untuk mengembangkan perspektif ekologis yang bukan hanya modern, tetapi juga berakar pada kearifan hidup manusia terdahulu.

Melalui diskusi ini, para narasumber menegaskan bahwa upaya memahami relasi manusia dengan alam merupakan langkah penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Gagasan tentang web of life, keadilan ekologis, hingga tanggung jawab lintas generasi merupakan upaya perlindungan lingkungan. Dengan demikian, acara ini tidak hanya menjadi ruang intelektual, tetapi juga momentum untuk mendorong kesadaran kolektif bahwa keberlanjutan bumi adalah proyek bersama yang membutuhkan solidaritas dan komitmen jangka panjang dari seluruh lapisan masyarakat. (/noor)