Ahli Komunikasi UGM dan UPN Soroti Objektifikasi Perempuan di Media Sosial dalam Diskoma #6

Yogyakarta, 6 Mei 2023─Eksistensi perempuan di media telah menjadi kajian menarik sejak bertahun-tahun lalu. Para ahli menemukan berbagai bentuk objektifikasi perempuan seringkali muncul baik di media lama, maupun media baru seperti media sosial saat ini. Dosen komunikasi, Universitas Gadjah Mada, Dr. Dian Arymami, S.I.P., M.Hum turut menyoroti isu ini dalam serial Diskoma #6 bertajuk “Objektivikasi Perempuan di Media Sosial” pada Sabtu (6/5).

Melalui diskusi yang disiarkan dalam kanal YouTube DIKOM UGM tersebut, Dian mengungkapkan pendapatnya bagaimana media saat ini telah mendorong terjadinya proses dehumaniasi berupa objektifikasi pada perempuan. “Kalau kita bicara dengan generasi saat ini, sepertinya konten adalah segalanya, terlebih dalam format-format yang lebih populer, seperti Instagram dan TikTok. Konten itu sendiri menjadi ruang objektifikasi bagi siapapun yang ada di layar. Jika melihat intensitas penggunaan media sosial dalam masyarakat kita, maka tidak heran hal ini bisa terjadi,” ungkapnya.

Motif penggunaan media sosial dalam dunia konten sebenarnya tidak lepas dari peluang penghasilan yang didapatkan. Kekuatan sebuah konten untuk memengaruhi audiens sudah tidak perlu diragukan lagi, melihat fenomena kemunculan influencer, endorse, ataupun Key Leader Opinion. “Kalau kita bicara tentang bagaimana objektifikasi ini muncul karena adanya ruang yang diciptakan oleh pengguna, maka tidak akan ada habisnya. Pada dasarnya, dalam fenomena media sosial saat ini, kita sampai pada titik, bagaimana seseorang meng-objektifikasikan dirinya sendiri,” tambah Dian.

Persoalan objektifikasi perempuan ini tidak bisa dilihat dengan hanya menyalahkan media, karena media juga terbentuk melalui sejarah panjang perkembangan interaksi manusia satu sama lain. Dian menerangkan, perkembangan objektifikasi ini telah melalui beberapa bentuk, seperti mendisiplinkan tubuh, standarisasi kecantikan, atau bentuk lainnya yang menyoroti standar bentuk tubuh seseorang. Pengulangan budaya turun temurun ini tidak terlepas dari media sebagai medium yang mengandung pesan-pesan objektifkasi. Secara lebih lanjut, masalah ini masih memerlukan perdebatan panjang terkait bagaimana seseorang merepresentasikan dirinya dan secara tidak langsung terjadilah objektifikasi.

Pendapat Dian tersebut juga didukung oleh pernyataan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, Dewanto Samodro, M.I.Kom. “Sejak dulu, peradaban di dunia dibangun di atas paham patriaki. Perempuan senantiasa menjadi objek, ditempatkan dalam posisi subordinat, dan menjadi alat untuk memuaskan nafsu laki-laki,” tutur Dewanto. Ia menambahkan, sistem ini dipahami sebagai sistem paling ideal pada zaman dulu, dan diturunkan kedalam sistem modern saat ini. 

Untuk merubah sudut pandang yang telah terbangun bertahun-tahun ini, tentu bukan perkara mudah. Perlu adanya kesadaran akan praktik-praktik objektifikasi baik dari paparan media, maupun eksploitasi diri sendiri. “Paham patriarki ini masih mengakar kuat, bahkan dalam keluarga sendiri. Merubah sistem yang terbentuk bertahun-tahun itu tidak mudah. Menurut saya patriarki ini bisa kita kikis dan mudah-mudahan pandangan masyarakat terhadap perempuan itu objek, bisa terkikis juga perlahan,” ucap Dewanto. (/tsy)