
Yogyakarta, 19 Juni 2025—Sejarah perkembangan hubungan internasional dengan Timur Tengah menunjukan identitas dan keberpihakan politik luar negeri Indonesia. Konsistensi selama bertahun-tahun mencerminkan solidaritas kuat dari pemerintah dahulu hingga kini, khususnya pada konflik Palestina. Prof. Dr. Dra. Siti Mutiah Setiawati, M.A., Guru Besar Bidang Geopolitik Timur Tengah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada mengangkat isu tersebut dalam pidatonya pada Kamis (19/6).
Hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah tak lain karena dukungan negara tersebut ketika Indonesia merdeka tahun 1945. Mesir disusul oleh Liga Arab tercatat sebagai negara dan organisasi regional yang pertama mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Selanjutnya inisiasi solidaritas diperkuat ketika Konferensi Asia-Afrika (KAA), Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mendukung Hak Rakyat Arab Palestina dan mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. “Kedekatan kedua wilayah ini juga terlihat dari istilah politik yang digunakan dalam tata pemerintahan. Alasan lainnya juga karena keduanya memiliki penduduk mayoritas muslim,” ungkap Sri.
Dalam perkembangannya konsistensi kedekatan antara Indonesia dengan wilayah Timur Tengah ternyata menunjukan variasi, bahkan kompromi pragmatis. Siti menyebut, kebijakan politik luar negeri Indonesia sebagai negara berkembang seringkali tercipta akibat tekanan dari kekuatan besar internasional. Pada akhirnya, konsistensi keberpihakan internasional dipengaruhi oleh gabungan antara nilai-nilai domestik dan realitas kekuatan global yang membentuk lanskap geopolitik kawasan.
Terdapat setidaknya tiga prinsip politik luar negeri Indonesia. Pertama, politik bebas-aktif yang satu itu dikeluarkan untuk merespon kekuatan Blok Barat dan Blok Timur. Namun implementasi dari setiap masa kepresidenan cenderung berbeda-beda. “Banyak pengamat politik luar negeri Indonesia mulai mempertanyakan sejauh mana prinsip ini masih relevan bagi kepentingan nasional,” tutur Sri. Pergeseran makna “keberpihakan” di masa kini tentunya sangat berpengaruh pada posisi Indonesia di mata dunia. Prinsip kedua tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk menumpaskan penjajahan dan menjaga keutuhan NKRI. Ketiga, prinsip kebijakan bertetangga baik (good neighborhood policy) yang digunakan untuk memerkuat jalinan kerja sama regional bersama negara-negara ASEAN.
Dalam membela kemerdekaan Palestina, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Secara internal, Palestina sendiri terpecah menjadi dua pihak yang berseteru yaitu Hamas dan Fatah. Indonesia sebagai negara solidaritas harus memahami posisi kedua kelompok ini untuk memberikan dukungan. Hamas berprinsip tidak akan menganggap keberadaan Israel, sedangkan Fatah mengakui Israel dan bersedia mendiskusikan penyelesaian konflik. Indonesia sendiri lebih sering berada di pihak Fatah dengan menyuarakan “Two State Solution” untuk memberikan pengakuan pada Palestina.
Tak hanya Palestina, Sri juga menjelaskan tantangan Indonesia di tengah konflik negara Timur Tengah lainnya. Salah satunya adalah perseteruan antara Yaman dan Arab Spring, di mana keduanya memiliki hubungan baik dengan Indonesia. Konflik tersebut memunculkan aliansi militer yang bernama “Aliansi Militer Islam” atau lebih dikenal sebagai Islamic Military Counter Terrorism Coalition (IMCTC) pada 15 Desember 2015. Indonesia termasuk salah satu negara yang diajak bergabung, namun dengan tegas menolak karena prinsip politik bebas-aktif. Keputusan tersebut menunjukan adanya variasi keberpihakan terhadap negara-negara Timur Tengah. Termasuk prinsip politik luar negeri yang ternyata bisa menyelamatkan posisi Indonesia dari ketegangan geopolitik global. “Prinsip politik luar negeri Indonesia yang “bebas dan aktif” terbukti menjadi pedoman (guidance) untuk tidak terjebak dalam arus geopolitik internasional yang tidak menentu arah dan tujuannya,” pungkasnya
Prof. Dr. Dra. Siti Mutiah Setiawati, M.A. resmi dikukuhkan sebagai salah satu dari 532 guru besar aktif UGM dan 23 guru besar dari 39 yang pernah dimiliki Fisipol UGM. Disampaikan Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A., sumbangsih keilmuan prof. Siti diharapkan mampu memberikan kontribusi dukungan kepada proses kemerdekaan Palestina. “Tentunya semoga bisa mengamalkan ilmu ini dengan baik, karena hanya knowledge tanpa wisdom maka kita kurang arif, namun hanya knowledge tanpa power kita tidak punya kekuatan untuk merubah,” pesannya.