Yogyakarta, 10 Juni 2024— Untuk memperdalam pengetahuan mahasiswa terkait isu Gerakan Sosial dan Pembangunan, Program Studi Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan kembali menyelenggarakan kuliah tamu dengan topik “Konstelasi Sosial Politik dalam Gerakan Sosial Masyarakat Kampung Akuarium”. Dengan studi kasus Kampung Akuarium, kuliah tamu tersebut mendukung kedalaman pemahaman terkait Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-11 mengenai kota dan permukiman yang berkelanjutan.
Kehadiran Achmad Firas Khudi, selaku Alumnus Chiang Mai University, memberikan gambaran lebih nyata mengenai dinamika warga Akuarium paskapenggusuran hingga pembangunan kembali.
Sebelumnya pada 2016 area pemukiman yang menampung lebih dari 300 keluarga itu digusur lalu dibangun kembali pada 2021 dengan nama Kampung Susun Akuarium. Menurut Firas, pembangunan kembali areal pemukiman setelah penggusuran menciptakan sebuah pengalaman paradoks. Dalam penelitiannya yang berjudul “Strategy Against Eviction and Livelihoods of the Akuarium Neighborhood in Jakarta’s Transformation”, Firas mencatat respons masyarakat menghadapi transformasi kehidupan kota berdampak pada ekonomi dan gerakan warga.
“Basis ekonomi dan komunitas itu hancur, menurun. Tetapi resistensi harian dan gerakan sosial pragmatis dengan motif pembangunan meningkat,” ujar Firas dalam pemaparannya.
Melalui resistensi harian, perlawanan kelas yang dilakukan warga tidak terjadi pada hal-hal yang bersifat abstrak melainkan pada hal nyata yang ditemukan di keseharian mereka. Hal ini terjadi karena rumah yang digusur ternyata tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal individu. Namun juga menjadi aset produktif yang bernilai ekonomi seperti dijadikan rumah kontrakan/kosan dan lokasi menjadi pendukung usaha kecil seperti warung, dan gerobak makanan. Ketika penggusuran terjadi maka masalah struktural tersebut muncul sehingga berdampak pada partisipasi atau gerakan yang bersifat pragmatis dan oportunistik.
Gerakan sosial yang dimaknai dari aksi tubuh, perlawan melalui jejaring sosial politik, atau ketahanan ekonomi yang dibangun oleh masyarakat itu sendiri memberikan gambaran nyata atas perlawanan.
“Gerakan pragmatis yang berangkat dari hal-hal yang melekat dengan kehidupan, dibandingkan dengan hal yang sifatnya abstraksi, ternyata lebih nyata dan lebih menggambarkan perlawanan,” kata Pinurba, selaku dosen pengampu mata kuliah.
Meskipun demikian, ketika gerakan pragmatisme itu terjadi maka sustainability atau keberlangsungan dari gerakan sosial menjadi rapuh.
“Sehingga benar tadi dikatakan, arah politiknya, arah geraknya ditentukan oleh kondisi politik yang sedang berkembang. Memang dinamis sekali, apalagi ketika kita bicara soal kota,” tambah Pinurba. (/noor)