Yogyakarta, 22 Oktober 2024─Tim Kajian Inklusi Sosial dan Kewargaan Demokratik Fisipol UGM menggelar acara diseminasi bertajuk “Membaca Inklusi Sosial dari Daerah”. Acara yang diselenggarakan secara hybrid pada hari Selasa (22/10) dihadiri oleh berbagai komunitas dan kalangan yang memiliki perhatian besar terhadap isu-isu inklusi sosial.
Acara ini membahas dua riset yang telah dilakukan sejak tahun 2020. Salah satu dari dua riset yang dibahas dalam acara ini mengambil judul “Darma, Bukan Derma: Inklusi sebagai Proyek Kewargaan” yang menganalisis situasi GEDSI di enam kota/kabupaten, yaitu Banda Aceh dan Bireuen (Aceh), Makassar dan Maros (Sulawesi Selatan), serta Bantul dan Yogyakarta (DI Yogyakarta).
Wawan Mas’udi, S.IP., M.P.A., Ph.D., Dekan Fisipol UGM yang turut terlibat dalam tim peneliti mengungkapkan bahwa dalam penelitian ini, timnya mencoba untuk memetakan eksklusi yang terjadi. Temuan penelitian ini menunjukan bahwa eksklusi disebabkan oleh konteks sosial politik, mindset masyarakat, struktur sosial, dan aspek geografis. Oleh karena itu, penting menurutnya membuat basis data dan pemetaan eksklusi yang terjadi setidaknya di setiap provinsi di Indonesia. “Dengan database yang kuat seperti itu, policy untuk menuju ke arah kewarganegaraan yang inklusif akan semakin lancar dan semakin kuat,” ungkapnya.
Dari hasil temuan penelitian ini, Wawan menyampaikan bahwa eksklusi terjadi seperti sebuah siklus berulang yang diawali karena adanya misrekognisi atau ketiadaan pengakuan atas status kelompok rentan sebagai manusia yang utuh dan warga yang setara. Misrekognisi kemudian menyebabkan kelompok rentan tidak memiliki akses yang setara terhadap layanan dasar dan tidak mampu berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Artinya, misrekognisi menyebabkan maldistribusi dan misrepresentasi.
Ia menambahkan bahwa masih eksklusi juga terjadi karena logika pembangunan yang sampai saat ini masih terhegemoni ide oleh logika mayoritas meskipun isu partisipasi terus digaungkan. Menurutnya, meskipun sudah ada upaya pemberdayaan, tetapi hingga saat ini belum ada advokasi langsung kepada kelompok yang secara tidak sadar melanggengkan eksklusi yang terjadi. “Yang namanya mindset kelompok tertentu seperti politisi itu sangat kuat menyangkut voters, kalau saya terlalu keras saya bisa tidak dapat suara, tidak peduli partai apapun kelakuannya sama, sangat pragmatis sehingga perlu ada literasi terhadap partai politik,” ungkapnya. Dengan adanya advokasi secara langsung dan literasi, ia yakin perjuangan inklusi yang berdasarkan rasa kasihan (derma) dapat berubah menjadi tugas bersama sebagai sesama warga negara.
Senada dengan Wawan, Qurrota A’yun, S. Si., MPH, Kementerian PPN/Bappenas mengungkapkan pentingnya data sebagai basis perumusan kebijakan. Ia menyatakan bahwa pemerintah masih belum memiliki data kualitatif yang mendalam dan mumpuni untuk merumuskan kebijakan yang lebih tepat. “BPS cukup banyak data kuantitatif, masih sedikit data kualitatif yang sampai mendalam,” ujarnya.
Dr. Tri Hastuti Nur Rochimah, M.Si. sebagai pihak PP Aisyiyah menggarisbawahi pengaruh dari pelayanan dasar dan mindset dari masyarakat dalam menciptakan inklusi sosial. Ia menceritakan salah satu pengalamannya selama berkecimpung di isu anak-anak berkebutuhan khusus. Permasalahan akses fasilitas dan pendampingan berkelanjutan yang masih terbatas diperparah dengan stigma masyarakat yang eksklusif. “Banyak sekolah yang masih belum mau inklusif karena masih banyak masyarakat yang takut tertular, ini menjadi problem besar yang harus kita putus,” jelasnya.