Bedah Buku “Kode Etik dalam Penelitian Ilmu Sosial di Indonesia” oleh Mayling Oey-Gardiner

Yogyakarta, 18 Mei 2022─Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM menggelar sesi bedah buku berjudul “Kode Etik dalam Penelitian Ilmu Sosial di Indonesia” dalam program Social Development Talk pada Rabu (18/5). Acara ini menghadirkan penulis buku Mayling Oey-Gardiner sebagai pembicara dan Janianton Damanik selaku dosen PSdK Fisipol UGM sebagai pembahas.

Buku yang terbit pada tahun 2021 tersebut dikerjakan selama tiga tahun sejak 2018, bersama dengan kedua mahasiswanya, Fandy Rahardi dan Canyon Keanu Can. Penulisan buku itu berangkat dari keresahan Mayling yang merasa bahwa perkembangan ilmu pengetahuan justru bukan dari keadaan di sekelilingnya. Mayling mengatakan, saat menjadi dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, ia melihat mahasiswa tidak biasa mengumpulkan data tetapi menggunakan data yang dikumpulkan oleh orang lain.

Menurut Mayling, ilmu pengetahuan dapat mencelakakan orang dan yang bertanggungjawab adalah peneliti. Sementara itu, secara ideal suatu penelitian bertujuan untuk mengembangkan ilmu dan menemukan yang disebut building blocks yang ditambahkan pada suatu bangunan apapun. Untuk mendapatkan building block itu kita perlu mencari kebenaran dan mengelakkan kesalahan.

“Bersamaan dengan itu, penelitian melarang adanya fabrikasi, falsifikasi, menyalahartikan data penelitian, dan plagiasi. Sebaliknya, yang kita perlukan adalah mempromosikan kebenaran dan mengurangi kesalahan,” ucap Mayling.

Kode etik diperlukan untuk meminimalisasi pelanggaran-pelanggaran dalam penelitian. Namun, dalam konteks Indonesia cenderung hanya membicarakan plagiasi, padahal masih banyak yang lainnya. Penelitian oleh Fourianalistyawati tahun 2018, mengatakan sebanyak 47,5% dari 160 universitas di Indonesia yang disurvei tidak memiliki komite etika. Meski demikian, kesadaran akan pentingnya etika penelitian tetap tinggi, terutama dengan meningkatnya perlunya kolaborasi dengan institusi dan peneliti internasional.

“Dilema etika akan terus bertambah. Menyelesaikan dilema etika terbaru membutuhkan adaptasi tanpa henti, dan juga membutuhkan komite etik dengan standar tinggi,” ungkap Mayling.

Sementara itu, Janianton mengatakan, membaca buku ini langsung dihadapkan pada sekian banyak etalase pelanggaran-pelanggaran etika di dalam penelitian. Buku ini menjadi satu pedoman untuk mengawal integritas peneliti sosial di Indonesia. Penelitian berpotensi mengabaikan praktik-praktik bijaksana dalam pemanfataan sumber daya demi kinerja ilmu pengetahuan. Untuk mereduksi hal tersebut, maka etika penelitian diperlukan.

“Dalam buku ini ditekankan betapa etika penelitian itu sebenarnya menjadi salah satu tools untuk mencapai tujuan peneitian yang mendasar. Ini penting sekali bagi kita untuk merasakan bahwa etika penelitian itu harga mati, jika etika itu ditabrak maka semua nilai dalam produk riset itu menjadi tidak bermanfaat,” tutur Janianton. (/WP)