Desi Rahmawati, M.A., Dosen DPP UGM yang turut terlibat dalam penelitian ini mengungkapkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang justru menyetujui adanya kebijakan yang eksklusif. Di Yogyakarta misalnya, survei dan penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa banyak masyarakat mengetahui dan menyetujui adanya kebijakan yang melarang keturunan Tionghoa memiliki tanah Di Yogyakarta.
Tidak hanya itu, Desi juga menceritakan bahwa penerimaan sosial dari masyarakat tidak serta merta melahirkan pengakuan atas hak politik. “Tampaknya warga banyak setuju dengan beberapa kebijakan eksklusif dan penerimaan terhadap sebuah kelompok ternyata tidak selalu dibarengi dengan pengakuan hak politik,” ungkapnya.
Farid Bambang Siswantoro, M.IP yang aktif menggeluti isu disabilitas khususnya turut menggarisbawahi bahwa kebijakan yang eksklusif ini juga tidak terlepas dari adanya marginalisasi yang terus menerus melalui peranti budaya. Menurutnya, terjadi juga praktik melindungi yang sebenarnya keliru. “Difabel tidak boleh melakukan sesuatu karena kasihan, contohnya waktu Pemilu kemarin ada yang bilang sudahlah nak diwakili ayah dan ibu saja, itu kan mengingkari hak politik,” katanya.
Dr. Ro’fah. M.A., yang menjadi Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga turut menanggapi riset ini dengan pengalaman tentang sering adanya ketidaksesuaian secara ideal dan praktik. Saat ia menyusun naskah akademik yang penuh dengan harapan ideal, sayangnya pada saat perumusan dan implementasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. “Kita menyusun naskah akademik sebenarnya pemenuhan hak dan hal lain yang disusun rapi, tetapi ketika masuk drafting terjadi sinkronisasi yang memangkas pasal-pasal baik,” ungkapnya.