Yogyakarta, 20 September 2018—Youth Studies Center (YouSure) Fisipol UGM melalui Soprema 2018 kembali menyelenggarakan gelaran Bincang Soprema (Birema). Kegiatan yang telah memasuki seri keempatnya ini mengambil tema “Social Enterprise: Sensing Business by Humanity”. Tema ini sendiri dipilih untuk menyebarkan semangat kewirausahaan sosial dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis utamanya. Mengundang Saptuari Sugiharta selaku CEO Kedai Digital dan founder Sedekah Rombongan serta Raisika, founder dan director Sanggar ASI sebagai pembicara, kegiatan ini dilangsungkan pada Kamis (20/9) di Digilib Cafe Fisipol UGM. Birema sendiri diselenggaraan dengan tujuan untuk memfasilitasi ruang dialog antara pegiat kewirausahaan sosial (sociopreneur), sivitas akademik dan masyarakat umum.
Berita
Mengawali diskusi, Prof. Roel membandingkan kesejahteraan negara – negara di Asia dengan Afrika. Ia membahas sebab terjadinya perkembangan yang cepat versus kesejahteraan yang stagnan dan berkelanjutan. Sebagai contoh, Ia membandingkan kesejahteraan pulau Jawa dibandingkan dengan yang lainnya. Jawa menjadi lebih sejahtera karena letak pemerintahan pusat berada disana dan tentunya untuk mempermudah memenuhi kebutuhan para elit negara. Atas hal tersebut, kemudian Prof. Roel membandingkan kesejahteraan Indonesia dengan Afrika.
Inty mengawali sesi pemaparannya dengan slide presentasi yang berjudul “Why Holland?”.Dalam sesi ini, Inty menjelaskan beberapa hal yang dapat dijadikan alasan dan sekaligus keuntungan yang dapat diperoleh dari melanjutkan studi di Belanda. Alasan utama yang dijelaskan adalah tingginya penggunaan Bahasa Inggris di Belanda.
“80% percakapan sehari-hari di Belanda itu menggunakan Bahasa Inggris,” ujarnya. Dengan begitu, pelajar yang ingin melanjutkan studi disana tidak diharuskan untuk fasih dalam Bahasa Belanda. Hal tesebut juga memudahkan mereka untuk beradaptasi di lingkungan yang baru. Selain itu, Belanda memiliki akreditasi yang sama rata dan sama baiknya antar universitas. Dikatakan bahwa tidak ada universitas yang lebih baik atau lebih buruk di sana karena semuanya setara. Sedangkan dari segi biaya hidup, Inty menjelaskan bahwa Belanda terbilang cukup murah apabila dibandingan dengan negara Eropa lainnya. Pelajar juga diperbolehkan untuk mengambil kerja paruh waktu selama 16 jam per minggu di sana.
Yogyakarta, 17 September 2018—Kedatangan Mendikbud Prof. Muhadjir Effendy merupakan bagian dari kunjungan beliau sebagai Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial atau yang disingkat HIPIIS, kepada HIPIIS cabang Yogyakarta. HIPIIS DIY yang sebagian besar beranggotakan para dekan fakultas-fakultas ilmu sosial di UGM, bersama anggota lain yang berasal dari luar Fisipol dan luar UGM seperti dari UIN Sunan Kalijaga dan UNS menyambut kedatangan Mendikbud di Digilib Café, Gedung Fisipol UGM. Agenda dari rapat ini diisi dengan diskusi antara anggota HIPIIS cabang Yogyakarta dengan Mendikbud terkait dengan program kerja dari HIPIIS cabang Yogyakarta.
Konflik Agraria yang sedang terjadi di Dipoyudan saat ini mengharuskan 40 rumah dan 1 makam untuk dikosongkan per tanggal 21 September 2018. Hal ini terjadi akibat sengketa dengan TNI AD yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut dengan kekancingan dua. Secara hukum, TNI dapat mengklaim rumah tersebut sebagai rumah dinas jika rumah tersebut berdiri di atas tanah negara.
“Padahal, TNI mengakui bahwa tanah tersebut dipinjam dari Kesultanan Yogyakarta,” ucap Mila.
Menurut Mila, hal ini menunjukkan alasan yang tidak sinkron. Di sisi lain, Mila mengungkapkan bahwa warga memiliki dokumen yang menyatakan bahwa wilayah tersebut bukanlah aset TNI. Warga Dipoyudan sendiri sudah memiliki izin penggunaan tanah tersebut pada kekancingan Magersari. Namun, pihak TNI AD kemudian mengajukan surat pembatalan kekancingan yang dimiliki warga.
Yogyakarta, 15 September 2018-Australian Goverment dan The Asia Foundation melalui Program Peduli bekerja sama dengan Fisipol UGM mengadakan Diskusi Publik bertajuk Inklusi Sosial: Jembatan Menuju Indonesia Setara Semartabat pada Sabtu (15/09) di Selasar Barat Fisipol UGM. Diskusi Publik ini bertujuan untuk memaparkan sejauh mana Program Peduli yang merupakan program yang diinisiasi oleh pemerintah dibawah Kementrian Koordinator bidang Pembangunan Manusia Kebudayaan (KEMENKO PMK). Program Peduli dirancang untuk menjangkau kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan, tidak terjangkau oleh program bantuan sosial pemerintah. Selain itu, diskusi ini diharapkan dapat meningkatkan semangat inklusi sosial bagi masyarakat terutama generasi muda.Diskusi ini dihadiri oleh Erman Rahman selaku Direktur The Asia Foundation, Rebecca dari Kedutaan Besar Australia, Sonny Harmadi selaku Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan dan Pembangunan Kemenko PMK RI, Nyoman Shuida selaku Deputi Bidang Koordinasi Pemberdayaan Masyarakat, Desa dan Kawasan Kemenko PMK RI, Dr. Erwan Agus Purwanto selaku Dekan Fisipol UGM dan puluhan mahasiswa.Dalam sambutannya, Erman Rahman mengungkapkan bahwa terdapat 3 hal penting yang perlu diperbaiki dalam mengatasai masyarakat marginal, untuk itulah Program Peduli dirancang. “Program Peduli dirancang untuk memperbaiki 3 hal, diantaranya penerimaan sosial dari warga masyarakatsekitar, akses pada layanan dasar (pendidikan, kesehatan, status kependudukan), bagaimana adanya kebijakan pemerintah yang dapat dimiliki oleh kelompok-kelompok marginal,” papar Erman.
Dr. Hideaki Ohta membuka pemaparan materi mengenai perkembangan ekonomi politik Jepang sejak satu dekade yang lalu meliputi kegagalan neo-liberalisme di Jepang serta tekanan Amerika Serikat (AS) terhadap kebijakan ekonomi Jepang. “Neo-liberalisme di Jepang yang dipelopori oleh Yasuhiro Nakasone, perdana menteri ke-45, menyebabkan sistem ekonomi Jepang berubah menjadi struktur ekonomi tipe AS dan memperburuk distribusi pendapatan dan pertumbuhan,” ujar Ohta. Sejak 1980, Jepang mulai membuat kebijakan dibawah pengaruh AS yang menjadikan perusahaan AS mendapat posisi dominan di pasar Jepang yakni melalui Structural Impediments Initiative (SII) pada tahun 1980–1991, Miyazawa-Clinton Agreement pada tahun 1994, Japan-US Derrugelation Dialogue pada 1997 serta US-Japan Regulatory Reform and Competition Policy Initiative pada 1994–2008. Melalui kasus tersebut, Ohto memberikan empat rekomendasi kebijakan. Pertama, reformasi kebijakan umum dari neo-liberalisme menjadi kebijakan kesejahteraan atau egalitarian. Kedua, reformasi dalam kebijakan pajak mengubah kebijakan liberalisasi atau derregularisasi di pasar tenaga kerja untuk menaikkan tingkat upah yang akan meningkatkan laju pertumbuhan. Ketiga, meningkatkan pengeluaran pendidikan untuk mengatasi ketiadaan pendapatan dan terakhir menanggulangi penurunan frekuensi dengan mengubah arah kebijakan secara keseluruhan dengan berhenti mematuhi permintaan AS secara berlebihan.
Yogyakarta, 13 September 2018—Istilah electronic sport atau e–sport semakin marak diperbincangkan sejak hadirnya kompetisi permainan virtual di Asian Games 2018. Hingga saat ini, masih banyak perdebatan mengenai posisi e-sport itu sendiri dalam kancah olah raga internasional. Pemaknaan e-sport dan masuknya e-sport ke dalam kompetisi olahraga dibahas lebih dalam pada diskusi bertajuk “Is E-Sport A Real Sport?” yang diadakan oleh Youth Studies Center (Yousure) Fisipol UGM pada Kamis (13/09/18). Diskusi yang berlokasi di Selasar Barat Fisipol UGM ini merupakan diskusi Bincang Muda Yousure. Diskusi kali ini mengundang Faidillah Kurniawan, S. Pd. Kor., M. Or. selaku Dosen Olahraga Terkini Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga UNY dan Simson selaku Ketua Indonesia e-sport Association DIY.
Yogyakarta, 13 September 2018- “Banyak sekolah dan kampus yang guru atau dosennya bilang Public Speaking itu penting, tapi tidak diajari, hanya disuruh-suruh,” ungkap Gideon Surya Pratama Head of Swaragama Training Center (STC) dalam acara Public Speaking and Grooming Class. Acara yang berlokasi di ruang Seminar Timur FISIPOL UGM (13/9) ini, diikuti oleh mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai fakultas di UGM. Bahkan ada yang berasal dari universitas lain, seperti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Acara ini merupakan kerjasama antara Career for Development Center (CDC) FISIPOL UGM, Swaragama Training Center dan Wardah untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam Public Speaking.Gideon mengatakan, Public Speaking menjadi hal yang penting karena satu dari lima kemampuan yang dibutuhkan di dunia kerja pada era industrialisasi 4.0 adalah kemampuan berkomunikasi yang baik. Hal ini dikarenakan pada era generasi milenial kemampuan manusia dalam berkomunikasi menurun. Kondisi ini sebagai akibat dari penggunaan gawai yang cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari. “Ketika anda menguasai Public Speaking, ketika anda bisa ngomong di depan umum, kepercayaan diri anda akan naik,” terang Gideon. Ia juga menambahkan bahwa ketika kepercayaan diri seseorang naik, maka kepercayaan orang tersebut akan hidup juga akan meningkan. Selain itu, dengan memiliki kemamuan Public Speaking, nilai dari diri seseorang juga akan naik.Bagi kebanyakan orang awam, berbicara di depan umum masih menjadi momok tersendiri. Rasa gerogi dan malu menjadi alasan mengapa banyak orang yang menghindari. Padahal menurut Gideon, untuk bisa memiliki keberanian dan kemampuan tersebut harus dimulai dengan berbicara di depan umum. “Kalau ditanya, Mas, saya pingin bisa ngomong di depan, gimana caranya? ya, ngomonglah di depan,” terangnya.
Sesi kemudian dilanjutkan oleh Treviliana yang dibuka dengan sebuah video yang berbicara tentang bagaimana IoT dapat dijadikan sebagai alat dalam kekerasan domestik. Treviliana menjelaskan adanya hubungan antara kekerasan domestic dengan IoT. Contoh yang diberikan adalah saat seseorang mulai membagikan kata sandi atau data-data personal kepada pasangannya, data tersebut dapat dijadikan alat untuk melakukan kekerasan terhadap pihak terkait oleh pasangannya di kemudian hari. “Perangkat IoT bisa disalahgunakan untuk melakukan kekerasan domestik kepada pasangannya,” ujarnya. Maka dari itu diperlukan literasi digital bagi seluruh masyarakat sebagai upaya preventif sekaligus langkah perlindungan keamanan data. Namun meskipun demikian, adapula perangkat IoT yang memang dibuat dengan tujuan yang menyentuh ranah personal. Pada tahap ini, mulai muncul argumen bahwa lama kelamaan IoT seolah menghilangkan privasi dari semua orang yang menggunakannya. Hal ini yang kemudian disebut sebagai disrupsi, dimana tidak ada kejelasan antara privat-publik yang kemudian dapat mengubah definisi dari privat-publik itu sendiri.