Arsip:

Berita

Merayakan Dies Natalis Fisipol Ke-65 Lewat Diskusi Reflektif “Ilmu Sosial Dalam Masa Pandemi”

Yogyakarta, 15 Oktober 2020—Dies Natalis Fisipol yang selalu diadakan secara meriah, tahun ini terasa berbeda. Pasalnya di usianya yang ke-65, perayaan Dies Natalis Fisipol diperingati di tengah masa pandemi yang sarat akan tantangan. Melalui hal ini, Fisipol merefleksikan tantangan yang dihadapi lewat diskusi refektif bertajuk “Ilmu Sosial dan Pendidikan Tinggi Dalam Masa Pandemi” pada Kamis silam melalui Youtube Live.

Diskusi reflektif dibuka oleh penyampaian pidato berjudul “Ilmu Sosial dan Pandemi Covid-19: Peluang dan Tantangan Keilmuan dalam Masyarakat Berjejaring”, yang dibawakan oleh Haryanto selaku Profesor Departemen Politik Pemerintahan. read more

Hearing Dekanat Seputar Perkuliahan di Masa New Normal

Yogyakarta, 14 Oktober 2020—Dewan Mahasiswa Fisipol UGM kembali menyelenggarakan Hearing Dekanat pada Rabu sore (14/10). Pada kesempatan kali ini, Hearing Dekanat mengakomodasi mahasiswanya yang memiliki pertanyaan seputar akademik dan non-akademik pada perkuliahan di masa new normal. Seperti biasa, hearing dihadiri oleh Prof. Dr. Erwan Agus Purwanto, M. Si selaku Dekan, Dr. Wawan Masudi selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, dan Ika Wulandari Widyaningrum, S.Pd., MBA selaku Kepala dan Kemahasiswaan. Acara berlangsung pada pukul 16.00-17.30 WIB. read more

MAP Corner Diskusikan Benang Kusut Pascapengesahan UU Ciptaker

Yogyakarta, 13 Oktober 2020MAP Corner atau Klub Manajemen Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan diskusi “UU Cipta Kerja, Kontroversi, dan Perlawanan” untuk membahas problematika pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada 5 Oktober 2020. Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara yang terdiri dari satu perwakilan buruh serta dua pakar hukum dari Fakultas Hukum (FH) UGM.

Perwakilan Federasi Buruh Lintas Pabrik, Jumisih, menjelaskan bahwa pihaknya menolak UU Ciptaker karena menilai UU ini lebih buruk dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dia menjelaskan, pihaknya telah menyandingkan UU Ketenagakerjaan dengan dua draft UU Ciptaker yang tersedia, yakni draft dengan jumlah 1.035 halaman dan draft dengan jumlah 905 halaman. Dia menyoroti pasal terkait pengaturan upah, khususnya Upah Minimum Kabupaten/Kota, yang multitafsir dan berpeluang membuat buruh menerima upah di bawah Upah Miminum Provinsi. “Apabila upahnya kecil, maka upah lembur, THR, dan pesangon juga akan kecil jumlahnya,” tutur Jumisih. read more

Wajah Baru Politico Tour: Hadirkan Serial Webinar Tiga Ranah Bahas Isu Sosial Politik dalam Konteks Pandemi

Yogyakarta, 12 Oktober 2020—Perayaan Dies Natalis FISIPOL UGM ke-65 turut didukung dan dimeriahkan oleh Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (KOMAP) dengan mengikutsertakan salah satu acara tahunannya, yakni Politico Tour atau yang kerap disebut sebagai Poltour. Sebagai program kerja tahunan dari Himpunan Mahasiswa DPP, Poltour yang biasa dilakukan dengan melakukan kunjungan ke berbagai instansi pemerintahan, pada tahun ini diubah menjadi sebuah event daring yang dikemas dalam bentuk serial webinar. Dengan mengangkat tema dinamika sosial politik Indonesia pasca pandemi, Poltour diharapkan dapat menjadi wadah untuk menangkap kekritisan bersama terkait fenomena yang terjadi selama dan setelah adanya adaptasi terhadap pandemi. Adapun serial webinar ini terdiri dari tiga fokus ranah yang dapat diikuti oleh peserta, mulai dari ranah negara (12 Oktober 2020), intermediary (13 Oktober 2020), dan masyarakat (14 Oktober 2020). read more

Virtual Run Ikut Ramaikan Dies Natalis Fisipol ke-65

Yogyakarta, 11 Oktober 2020— Memperingati Dies Natalis Fisipol ke-65, Forum Olahraga Fisipol (FOF) mengadakan perlormbaan lari bertajuk “Virtual Run”. Virtual Run merupakan suatu perlombaan lari yang mana para peserta bebas berlari dimana saja dan kapan saja sesuai periode yang sudah ditentukan, yaitu 9 hingga 16 Oktober. Virtual Run ini dapat diikuti oleh seluruh civitas academica, karyawan, dan alumni Fisipol UGM. Sebelum mengikutinya, peserta diwajibkan melakukan pendaftaran yang sudah dibuka sejak tanggal 21 September—1 Oktober 2020 lalu. Peserta juga diwajibkan mengunduh aplikasi Strava dan begabung dengan klub “Virtual Run Fisipol” di aplikasi tersebut. Peserta yang menjadi pemenang adalah mereka yang lebih dahulu menempuh 6,5 km. Menariknya, selain mengajak masyarakat Fisipol untuk terus menjaga kesehatan selama pandemi, gelaran Virtual Run juga sebagai ajang donasi untuk korban terdampak COVID-19 di lingkungan Fisipol. Rofii Zudi Kurniawan, ketua FOF saat ini, menyebutkan bahwa uang donasi ini dikumpulkan dari biaya pendaftaran peserta Virtual Run. “Biaya pendaftaran minimal untuk mahasiswa adalah 20 ribu rupiah, sedangkan untuk staf dan alumni minimal 35 ribu rupiah”, sebut Rofii saat dihubungi Media Fisipol melalui telepon. Donasi ini kemudian akan disalurkan kepada pedagang kantin di Fisipol. Bagi Rofii, belum banyak bantuan yang mengalir kepada pedagang kantin di Fisipol, tidak seperti bantuan yang diberikan kepada karyawan dan mahasiswa. “Pedagang ini seperti terlupakan, padahal secara penghasilan  mereka juga salah satu yang terdampak pandemi COVID-19”, tutur mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan angkatan 2018 ini. Ketika ditanya bagaimana cara membuat acara tetap meriah di tengah pandemi, Rofii berbagi beberapa tips. Pertama, rancang acara dari jauh-jauh hari, misal satu atau dua bulan sebelumnya. Kedua, sertakan tagar pada setiap unggahan dan minta peserta mengunggah foto setelah berlari. Ketiga, menghubungi teman-teman dari Himpunan Mahasiswa Jurusan, organisasi, dan komunitas yang ada di Fisipol. “Kalau perancangannya mantap pasti acaranya meriah, maka dari itu perlu disiapkan jauh-jauh hari,” ungkap Rofii. Selain itu, untuk memeriahkan acara, kategori juara tidak hanya diambil dari peserta tercepat yang memenuhi jarak tempuh yang ditentukan. Panitia juga akan memilih satu foto favorit yang diunggah peserta di Instagram Story masing-masing dan juga ada lima undian doorprize. Peserta juga akan mendapat fasilitas berupa masker, handsanitizer, dan nomer dada yang akan dikirim ke rumah masing-masing. Rangkaian acara Dies Natalis Fisipol ke-65 ini tidak hanya Virtual Run. FOF sebagai salah satu penyelenggara yang turut meramaikan acara ulang tahun Fisipol, juga mengadakan lomba untuk tiga cabang e-sport. Waktu penyelenggaraannya mulai dari tanggal 26 September hingga 3 Oktober 2020 dan bervariasi untuk setiap lombanya. “Seminggu masing-masing satu lomba untuk PUBG Mobile, Point Blank, dan Mobile Legends”, imbuh Rofii. (/anf)

ARTJOG 2020 Buktikan Pandemi Tak Halangi Eksistensi Pameran Seni

Yogyakarta, 10 Oktober 2020—ARTJOG, pameran seni tahunan di Yogyakarta semenjak 2008, berusaha untuk tetap eksis di tengah pandemi Covid-19. Bersama para seniman, ARTJOG 2020 memanfaatkan momen pandemi untuk menciptakan konsep karya-karya baru yang bisa dinikmati di tengah keterbatasan, yaitu melalui pameran dan film dokumenter. Topik ini dibahas dalam Digital Future Discussion (Difussion) #35 oleh Center for Digital Society (CfDS) UGM bersama Gading Narendra Paksi, Program Manajer ARTJOG 2020 (09/10). Dalam diskusi tersebut, Gading menceritakan bagaimana perjalanan ARTJOG di tengah pandemi ini. ARTJOG 2020 digelar mulai tanggal 8 Agustus hingga 10 Oktober. Apabila biasanya ARTJOG menggunakan tiga gedung di Jogja National Museum (JNM), tahun ini ARTJOG hanya menggunakan satu gedung untuk pameran. Pameran dibuka selama tiga sesi dengan batasan 60 pengunjung setiap sesinya, yaitu pada pukul 10.00 – 12.00, 13.00 – 15.00, dan 16.00 – 18.00. Karya-karya yang ditampilkan pun lebih menonjolkan aspek dua dimensi serta tidak melibatkan interaksi dengan pengunjung. Selain itu, ARTJOG 2020 juga bekerja sama dengan Kurnia Yudha dan tim dokumenternya untuk membuat film berjudul Expanded ARTJOG. Film ini menggambarkan tentang bagaimana persiapan dan pelaksanaan ARTJOG 2020 di tengah keterbatasan pandemi Covid-19. Pengunjung bisa mengakses film Expanded ARTJOG di resilience.artjog.co.id dengan membayar sebesar lima belas ribu rupiah. ARTJOG juga mengadakan program Artcare, yaitu mengajak para seniman untuk membuat karya-karya yang kemudian disatukan dalam sebuah box set. Karya tersebut nantinya akan dijual dan hasil penjualannya disumbangkan kepada masyarakat yang terdampak Covid. Program-program pameran, film, dan Artcare merupakan salah satu wujud penyesuaian ARTJOG di tengah pandemi. Mulanya, ARTJOG berencana untuk membuat rangkaian Arts in Common selama tiga tahun berturut-turut yang diawali dengan seri pertama Common Space di tahun 2019. Hingga bulan Februari 2020, tim ARTJOG sudah melakukan sosialisasi bersama para seniman dengan rencana eksekusi di bulan Juli untuk seri kedua Arts in Common: Time to Wonder. Pandemi Covid-19 yang akhirnya melanda Indonesia sejak bulan Maret pun sempat mendorong munculnya isu pembatalan berbagai event di Yogyakarta. Akan tetapi, tim ARTJOG tidak ingin mundur dan memutuskan untuk menunda seri kedua Arts in Common dengan mengangkat tema baru, yaitu “Resilience” yang berarti daya tahan di tengah situasi sulit. “Melalui tema Resilience, kami ingin menunjukkan bagaimana ARTJOG 2020 bersama para seniman bisa beradaptasi serta memperjuangkan apa yang sudah kami lakukan selama bertahun-tahun agar tetap terlaksana,” kata Gading. Gading menambahkan bahwa resiliensi bukanlah sebuah hal baru bagi para seniman, khususnya di Indonesia. Para seniman sebenarnya sudah beradaptasi untuk tetap berkarya di tengah situasi sulit, terlebih di  Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang sudah awam dengan bencana. “Kekuatan utama seniman di DIY adalah modal sosial. Ketika terjadi bencana, biasanya semua terdorong untuk bergotong royong dan bersama-sama beradaptasi,” kata Gading. ARTJOG 2020 bisa tetap terlaksana juga berkat bantuan dan dukungan dari para seniman. Kesulitan yang dihadapi ARTJOG di tengah situasi ini adalah bekerja sama serta menyamakan frekuensi dari berbagai pihak terkait pelaksanaan pameran. Selain itu, Gading mengaku belum menemukan cara terbaik untuk menikmati seni selain dengan menonton secara langsung. Tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah pengunjung tahun ini mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Meskipun begitu, menurut Gading situasi ini juga memberi kesempatan bagi para seniman untuk berkontemplasi ulang dan berpikir bagaimana agar tetap bisa berkarya. Inovasi karya film dokumenter pun akan diteruskan untuk tahun-tahun berikutnya sebagai salah satu bentuk pengelolaan dokumentasi dan arsip. Peralihan ke sistem digital ini juga mempermudah ticketing serta menjalin relasi dengan berbagai pihak di luar daerah tanpa ongkos yang besar. Jumlah seniman yang terlibat pun dua kali lipat lebih banyak daripada biasanya, yaitu sekitar delapan puluh seniman. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi tidak menjadi batasan untuk berkarya, justru bisa ditingkatkan melalui relasi dan modal sosial yang kuat dengan berbagai pihak. (/Raf)

OH Visitasi Edisi Online: Kisah Sherry Menjadi Relawan COVID-19 di Wisma Atlet

Yogyakarta, 9 Oktober 2020—Organization of Humanity Fisipol UGM kembali hadir dengan program OH Visitasi Edisi Online pada Jumat malam (9/10). Visitasi Online via Google Meet ini mengangkat topik “Kisah Relawan COVID-19: Berjuang Atas Dasar Kemanusiaan”. Sherry Anastasya (Ilmu Gizi FKM UI 2017), relawan Covid-19 di Wisma Atlet, berkesempatan menjadi narasumber pada kali ini. Acara berlangsung pada pukul 19.00-20.30 dan dimoderatori oleh Felice, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2019. Sebagai pengantar, Sherry berbagi cerita mengenai pengalamannya menjadi relawan di Wisma Atlet selama dua bulan, yaitu pada Juni dan Agustus akhir. Ia mengaku alasan menjadi relawan Covid-19 karena pada saat itu ada kesempatan pendaftaran dan dengan latar belakangnya yang kuliah di bidang kesehatan, Sherry dapat belajar dan mengetahui seluk beluk rumah sakit. Ia bercerita bagaimana kondisi tenaga medis ketika harus memakai APD selama bertugas, proses dekontaminasi yang cukup kompleks, hingga respon orang-orang ketika dites swab. Sherry sendiri menjadi relawan non-medis di bagian admin swab dan dekontaminasi. Jika di admin swab, Sherry bertugas sebagai administrator tes swab. Ia mengurusi pendataan pasien, dari mulai pendaftaran, panggilan antrian, menuliskan label data diri pasien, penomoran tabung, penginputan data ke komputer, hingga menyerahkan laporan ke atasan. Sedangkan ketika di bagian dekontaminasi, ia bertugas mengolah atau mengurusi limbah-limbah APD ataupun limbah infeksius dari tenaga medis setelah memasuki tower pasien. Ia mengatakan bahwa proses dekontaminasi bukan sembarang melepas APD lalu dibuang, tetapi harus melewati proses penyemprotan dengan cairan khusus, kemudian dibilas dengan air. Dalam hal ini, relawan bertugas mengawasi agar proses dekontaminasi dilaksanakan dengan benar sehingga tidak terjadi kefatalan ketika ada virus yang menempel. Selain itu, ia juga bertugas membersihkan peralatan APD seperti boots, face shield, dan lainnya sebelum digunakan oleh tenaga kesehatan. Sherry mengaku pekerjaan ini cukup menyita waktu, sebab ia juga harus membagi waktu dengan kuliah. “Agak lumayan (lama) lah terutama yang di dekontaminasi karena jam kerjanya 8 jam, kalau di admin swab setidaknya jam kerjanya cuma 4 jam,” ujarnya. Sherry menyebutkan bahwa bagian non-medis selain dekontaminasi dan admin swab, ada pula logistik, porter, admin sekretariat, pemulasaraan jenazah, asisten keperawatan, bidang IT, dan MCU. Selanjutnya, Sherry bercerita mengenai suka dan duka selama menjadi relawan di Wisma Atlet. Ia mengaku kesusahan untuk mengatur waktu antara kegiatan relawan dan kewajiban kuliah. Ditambah lagi ketika ia harus melakukan magang masyarakat yang merupakan kewajiban mahasiswa semester enam-tujuh, tetapi untungnya magang online. “Itu sih paling ngaturnya (waktu) susah disitu tapi syukurnya semua terlewati dan kayak nggak ada yang collab juga,” ungkap Sherry. Namun, Sherry mengaku lebih banyak mendapat suka ketimbang duka karena pengalaman tersebut dinilai sangat worth it. Ia bertemu dengan teman-teman yang baik dari admin swab maupun dekontaminasi. Kekeluargaan sangat terasa karena saling memberi perhatian. Ia semakin merasa terbuka karena dapat membaur dengan masyarakat yang berbeda latar belakang. “Bertemu dengan macam-macam orang dengan background pendidikan dan ekonomi yang berbeda, benar-benar menyenangkan karena aku jadi betul-betul membaur sama masyarakat, selama ini hanya berkegiatan di kampus doang, jadi merasa terbuka banget,” ucap Sherry. Dengan memperoleh dukungan dari keluarga dan teman-temannya, Sherry tidak terlalu mengalami masalah psikologis selama menjadi relawan Covid-19. Sedangkan tantangan terbesarnya adalah pada jam istirahat karena kegiatannya yang banyak membuat waktu tidur berkurang, bahkan sempat tidak tidur. Selain itu, tantangan lainnya adalah menjaga hubungan sosial bersama teman-teman agar tidak ansos (anti sosial) disamping menjalankan tanggung jawabnya. Menjadi relawan bagi Sherry merupakan sesuatu yang sangat berharga karena bakal ada pengalaman berkesan yang nantinya bisa diceritakan. Ia menyarankan untuk tidak takut mencoba volunteer karena segala kesulitan pasti akan ada solusinya, termasuk dalam hal manajemen waktu. “Teman-teman bisa fokus ke dua hal pada saat waktunya, waktu volunteer fokus volunteer, waktu kuliah fokus kuliah, pasti bisa kok terlaksana semuanya, semangat,” ucap Sherry. (/Wfr)

Kuliah Terbuka Manajemen Risiko Sektor Publik: Manajemen Risiko dan Ketangkasan Bisnis Menghadapi COVID-19

Yogyakarta, 8 Oktober 2020—Mata kuliah Manajemen Risiko Sektor Publik Program Studi S1 Manajemen dan Kebijakan Publik mengadakan pertemuan perkuliahan yang terbuka untuk umum. Dengan menghadirkan Hanif Muhammad, M.Sc., sebagai dosen tamu, pertemuan ini secara khusus membahas topik “Manajemen Risiko dan Ketangkasan Bisnis Menghadapi COVID-19.” Selain diadakan sesuai dengan jam mata kuliahnya—pukul 07.30 WIB, sesi diskusi bersama sang narasumber pun dipandu oleh salah satu dosen pengampu mata kuliah Manajemen Risiko Sektor Publik, Media Wahyudi Askar, S.IP., M.Sc., Ph.D. Sebagai CEO Boogie Protective dan Kepala Pusat Studi Inovasi dan Digital INDEF, Hanif menggabungkan teori yang ada dengan pengalaman yang ia jalani, baik dari sudut pandang personal maupun perusahaan, dalam membahas topik yang diangkat. Namun sebelum masuk ke pemaparan materi dari sang dosen tamu, Media selaku moderator membacakan CV yang sesekali ditanggapi langsung oleh Hanif sebagai bentuk pengenalan pada para peserta kuliah. Untuk awalan materi, Hanif bercerita sedikit mengenai latar belakang perusahaannya, tindakan yang ia dan tim ambil dalam merespons kebijakan di tengah pandemi, serta titik balik yang mengubah hidup dan cara pandangnya terkait pengelolaan perusahaan pada masa pandemi. Dari titik baliknya ini, ia merasa bahwa harus turun tangan untuk penanganan pandemi dalam kapasitasnya, walaupun langkah tersebut akan memunculkan risiko. Oleh sebab itu, manajemen risiko perlu untuk dilakukan. Hanif menyadari bahwa hidup pada dasarnya penuh risiko. Sehingga, jika usahanya tidak berani untuk mengambil risiko, maka usahanya tidak akan hidup. Namun, jika risiko tersebut juga tidak dikelola dengan baik, kegagalan dan kehancuran juga dapat terjadi. Menurut Hanif, pilihannya bukanlah menghilangkan risiko yang ada, tetapi mengelolanya. Hanif kemudian menjelaskan bahwa manajemen risiko memiliki dua konsep dasar yang sangat sederhana, yaitu paham apa yang terjadi dan tahu apa yang harus dilakukan. Untuk memahami risiko apa yang dihadapi, maka diperlukan tiga cara, yaitu asses, identify, dan analyze. Tiga cara ini bisa dilakukan dengan melakukan riset dari berbagai sumber seperti podcast dan berita. Mencari sumber informasi dengan luas membantu untuk memahami lingkungan strategis dan bisnis yang akan dijalankan dalam konteks yang lebih besar. Sebab hal-hal di luar dugaan akan selalu terjadi dan tidak dapat dihindarkan, Hanif menjelaskan bahwa dalam mengelola risiko perlu untuk selalu do what in control dan look up for open window. Dari situ, langkah-langkah kecil dapat dilakukan dan terus diulangi sampai menemukan strategi yang paling efektif. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan agile methodology, sebuah strategi yang menyoroti hal-hal kecil yang dapat menjadi faktor signifikan perubahan. Ketika berbagai strategi sudah diupayakan, tiap strategi dapat diproporsikan dengan skalanya masing-masing sesuai dengan efektivitas yang dihasilkan. Tidak lupa juga Hanif menjelaskan bahwa penting untuk melakukan kolaborasi dengan pihak lain, embarks leadership internally, mengurangi risiko yang dapat membebani pikiran, serta memikirkan upaya berkelanjutan. “Kondisi pandemi, kondisi krisis seperti ini benar-benar bisa melatih untuk mengelola risiko secara nyata. Sebab, kondisi terdesak lah yang membuat kita berpikir lebih, mencari solusi dan alternatif,” ungkap Hanif sebelum mengakhiri pemaparan materinya dengan rekomendasi buku. Sepanjang pemaparan materi, Hanif selalu melengkapi penjelasannya dengan contoh nyata—pengalaman yang sudah ia dan tim lakukan selama ini. Setelah merangkum keseluruhan penjelasan Hanif, Media mempersilakan para peserta kuliah untuk menanggapi, bertanya, dan berbagi pengalamannya juga. Beberapa peserta kuliah pun aktif bertanya dan memberikan tanggapan, yang kemudian juga dijawab dan ditanggapi kembali oleh Hanif. “Manajemen risiko itu harus dilatih. Ciptakan risiko agar dapat melihat peluang baru,” pesan Hanif sebagai penutup dari pertemuan perkuliahan “Manajemen Risiko dan Ketangkasan Bisnis Menghadapi COVID-19”, mata kuliah Manajemen Risiko Sektor Publik. (/hfz)

Dampak Strategi Nation Branding dalam Penyelenggaraan Ajang Olahraga Internasional

Yogyakarta, 8 Oktober 2020—Korps Mahasiswa Hubungan Internasional atau Komahi UGM menyelenggarakan Diskors (Diskusi Olahraga Skuy!) pada Kamis malam, (8/10). Diskusi Olahraga ini mengundang narasumber dari alumni dari Hubungan Internasional 2016 yaitu Antakarana Tanugraha. Pada kesempatan kali ini, diskusi membahas skripsinya yang berjudul “Nation Branding dalam Politik Penyelenggaraan Ajang Olahraga Internasional di Negara-negara Berkembang”. Acara berlangsung pada pukul 18.15 WIB. Latar belakang memilih olahraga sebagai bahan diskusi pada skripsi adalah karena olahraga memiliki sifat universal yang membuatnya diminati oleh sebagian besar masyarakat dunia.  Penyelenggaraan ajang olahraga sangat dinantikan oleh masyarakat dari seluruh penjuru dunia untuk menonton atau bahkan mendatangi langsung venue dari ajang olahraga. Menjadi negara tuan rumah penyelenggaraan ajang olahraga internasional merupakan hal yang sangat diimpikan karena kedatangan turis untuk menonton pertandingan memberikan peluang berupa economic boost sehingga menyebabkan negara-negara berkembang berlomba untuk menjadi tuan rumah ajang olahraga. Diskusi ini membahas mengenai studi komparasi negara-negara berkembang sebagai tuan rumah olimpiade, yaitu Tiongkok (2008), Afrika Selatan (2010), Yunani (2004), dan Brazil (2016). Melihat keadaan pasca penyelenggaraan ajang olahraga itu sendiri, beberapa negara berkembang tersebut mengalami perbedaan kondisi dari sisi ekonomi setelah menyelenggarakan ajang olahraga. Tiongkok mengalami peningkatan dalam infrastruktur (kapasitas transportasi publik) dan lingkungan (kualitas udara) serta pertumbuhan ekonomi di Kota Beijing mencapai 2,5%.  Afrika Selatan mengalami peningkatan kualitas infrastruktur olahraga dan terus digunakan sampai saat ini. Selain itu, FIFA dan Kementerian Olahraga & Rekreasi Afrika Selatan melaporkan adanya keuntungan mencapai USD 2,5 miliar. Sementara, Yunani justru memunculkan utang yang besar untuk pembangunan fasilitas Olimpiade hingga menjadi salah satu faktor krisis ekonomi 2007-2008. Begitu pula Brazil, mengalami defisit anggaran yang berada di sekitar USD 121 juta hingga USD 151 juta dan fasilitas menjadi terbengkalai dengan adanya utang operasional. Dengan adanya perbedaan tersebut, rumusan masalah yang dibuat adalah mengapa Brazil dan Yunani mengalami defisit dari segi perekonomian setelah menjadi penyelenggara ajang olahraga ketika Tiongkok dan Afrika Selatan dapat meraih sejumlah keuntungan melalui upaya yang serupa. Menurut Anta, nation branding dalam penyelenggaraan ajang olahraga sangat berdampak pada economic boost pasca olimpiade. Melalui penelitiannya, ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan Brazil dan Yunani mengalami kerugian. Dari segi pemenuhan portofolio, Tiongkok membuka platform khusus untuk siaran langsung digital untuk persiapan serta kompetisi Olimpiade 2008 sehingga akses informasi untuk pecinta olahraga semakin luas. Afrika Selatan menggandeng perusahaan mitra untuk mengeluarkan produk-produk berkaitan dengan nuansa kebudayaan Afrika Selatan. Sementara, Brazil melakukan strategi pemasaran yang kurang efektif dan kemunculan berita dari media-media internasional ternama yang menyoroti keburukan selama persiapan Olimpiade 2016 sehingga memunculkan persepsi negatif bagi negara. Pun dengan Yunani, sejumlah sengketa dan skandal dalam negeri terekspos oleh media luar, seperti The Guardian. Dari segi monitoring, Tiongkok memberlakukan beberapa regulasi dan menjaga brand negara dengan kembali mengikuti bidding sebagai tuan rumah dari Asian Games dan Olimpiade Musim Dingin pada saat persiapan Olimpiade 2008 masih berlangsung. Afrika Selatan membentuk lembaga khusus yang bertanggung jawab untuk menjaga brand atau reputasi sekaligus melakukan jajak pendapat berkala untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap negara, yakni Brand SA. Sementara itu, Brazil dan Yunani tidak ada lembaga khusus yang menangani nation branding serta tidak memiliki upaya yang jelas dari pemerintah untuk meningkatkan reputasi negara. Terkait regulasi, Brazil tidak memberlakukan regulasi-regulasi untuk membantu menjaga reputasi negara, sedangkan Yunani sudah berusaha memberlakukan regulasi namun terhalang oleh adanya pembengkakan anggaran. Selanjutnya, identitas unik suatu negara juga dapat digunakan untuk nation branding. Diantaranya, anggapan Tiongkok sebagai negara yang ramah lingkungan dengan pembangunan infrastruktur serta persiapan yang sangat efisien melalui kampanye Green Olympic. Pada Afrika Selatan, banyak pihak yang melihat Afrika Selatan mampu menunjukkan kebangkitan hingga mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan bahkan mampu terpilih menjadi tuan rumah dari Piala Dunia. Sementara, identitas Rio de Janeiro dan Brazil yang diasosiasikan sebagai wilayah kumuh dengan adanya sejumlah permasalahan lingkungan di sekitar kota tersebut. Pun dengan Yunani yang terasosiasikan dengan identitas-identitas tertentu, seperti negara dengan masyarakat yang cenderung tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan atau negara yang tidak serupa cerita di masa kuno. “Ya pokoknya dengan meningkatkan branding negara itu sendiri merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menyelenggarakan ajang olahraga karena dengan nation branding itu sendiri lah yang membuat negara-negara itu sendiri pasti bisa sukses dan melalui penjualan tiket maupun merchandise dapat menutup anggaran yang telah disediakan,” tutup Anta. (/Wfr)

Virtual Photoshoot: Stay Creative at Home

Yogyakarta, 5 Oktober 2020—Center Digital for Society menyelenggarakan program Digital Discussion yang ke-35 pada Senin malam (5/10). Acara yang bertajuk “Virtual Photoshoot: Stay Creative at Home” berlangsung melalui platform Whatsapp Group. Gandung Adi Wibowo, photographer, menjadi pemantik pada kesempatan kali ini. Acara dimulai pukul 19.00 WIB dan dimoderatori oleh Devia Putri Maharani, event assistant CfDS.

Seperti biasa, sebelum memulai diskusi, moderator menyampaikan aturan grup terlebih dahulu dan memperkenalkan pemantik. Bersama Gandung, diskusi yang berlangsung akan mengupas tuntas tentang virtual photoshoot. Dapat diakui, selama #dirumahaja, media sosial diramaikan oleh munculnya foto-foto aesthetic hasil dari sebuah tren pemotretan baru yang muncul ditengah pandemi yaitu virtual photoshoot. Sebagai pengantar, moderator menunjukkan beberapa foto hasil virtual photoshoot dan menanyakan konsep foto tersebut dilakukan kepada audiens. Rata-rata peserta masih bertanya-tanya mengenai konsep dari virtual photoshoot yang sedang marak di media sosial. Sebenarnya, kegiatan tersebut menjadi solusi mengatasi kebosanan para fotografer selama masa karantina yang membuat tidak bisa hunting foto di luar. Tren ini booming ketika banyak public figure yang juga melakukannya.

Gandung mengungkapkan bahwa konsep yang digunakan para model untuk melakukan virtual photoshoot adalah dengan video call bersama fotografer, mengarahkan gaya, lalu memotret layar. Untuk peralatan foto, yaitu menggunakan SLR, DSLR, Mirrorless & Pocket. Persiapannya sendiri sama seperti ketika foto normal, yaitu cek lokasi dan properti. Misalnya, sehari sebelumnya harus video call untuk melihat area rumah yang sekiranya cocok untuk spot foto, seperti cahaya yang cukup atau tempat yang unik. Selain itu juga sebagai acuan untuk kualitas internet antara fotografer dan model. “Kualitas internet jadi kunci utama, sebagus apa pun, semahal apa pun, secanggih apa pun perlengkapan, bakal keok juga kalau internetnya lemot,” ucap Gandung.

Media layar foto juga penting, tiap media layar memiliki plus-minus, entah kerapatan pixel, color gamut, atau lainnya yang akan menentukan kualitas foto. “Kalau pernah lihat virtual foto yg bintik pixelnya kelihatan, itu ya karena faktor layarnya. Tapi kalau teknologi baru sekarang layarnya udah bagus-bagus,” ujar Gandung. Berikutnya, jam saat foto perlu diperhatikan karena sangat menentukan banyaknya cahaya yang ada. Sebenarnya, handphone yang digunakan sudah dapat mengatur ISO, yaitu tingkat kepekaan/sensitifitas sensor terhadap cahaya. Semakin tinggi ISO, maka akan semakin peka terhadap cahaya. Jika lokasi foto kurang cahaya/redup, maka handphone akan secara otomatis menaikkan ISO. Risiko ISO tinggi adalah noise, misalnya akan kelihatan pixel layar & gambar gak tajam. Disini Gandung menunjukkan perbandingan foto yang memiliki ISO tinggi dan rendah.

Pada akhir pemaparan materi, Gandung memberikan sedikit tips untuk mengarahkan model. Tipsnya adalah selalu pegang prinsip, “kasih pujian baik, bukan kritik”. “Kalau mau dia senyum, ya buat dia tersenyum. Jangan,”ayo senyum! senyum!” tuturnya. Selanjutnya, diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab. Acara berakhir pada sekitar 21.00 WIB. (/Wfr)