CfDS Gelar DigiTalk, Tekankan Pentingnya Pengarusutamaan Keamanan Siber Sosial di Tengah Transformasi Digital

Yogyakarta, 24 Januari 2025─CfDS Fisipol UGM kembali menggelar sesi diskusi dalam acara DigiTalk yang bertajuk “Menelaah Keamanan Siber Sosial : Ancaman Digital Baru Indonesia?”. Diskursus tersebut menelaah permasalahan yang tengah berkembang di tengah transformasi digital yang semakin masif, beriringan dengan maraknya misinformasi secara daring. Oleh karena itu, keamanan siber menjadi hal yang krusial untuk mengintegrasikan antara perlindungan teknologi dengan kesadaran sosial budaya melalui regulasi yang efektif. 

“Keamanan siber sosial itu berfokus untuk memanipulasi, mempengaruhi individu manusia, grup, atau komunitas yang berdampak pada perilaku sosial, budaya, dan politik. Jadi sama-sama menggunakan teknologi, tapi teknologinya tidak untuk mencuri kredensial, atau mengambil alih sebuah sistem elektronik. Namun digunakan untuk mempengaruhi pola pikir dari target atau dari masyarakat atau dari kelompok grup juga bisa,” ungkap Dhoni Kurniawan, selaku Analis Kebijakan Badan Siber dan Sandi Negara RI. 

Sementara itu, dalam hasil riset independen CfDS mengungkapkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara pengetahuan dengan terminologi dalam studi antara keamanan siber dengan studi-studi lain terkait misinformasi atau hoaks. “Adanya kesenjangan pengetahuan ini bisa berdampak pada interpretasi regulasi. Karena itu, dari BSSN, pemerintah, swasta, dan regulasi UU ITE harus dipertajam agar bisa lebih konsisten dalam melakukan penindakan ancaman siber ini,” jelas Tane Hadiyantono, sebagai Peneliti CfDS. 

Lantas, diskusi ini juga beranjak pada pembahasan mengenai menjembatani ketahanan siber sosial dari aspek sosial kemasyarakatan. Terlebih dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang disebut sebagai masyarakat pengguna gawai yang menghabiskan waktu lebih dari enam jam dalam menggunakan gawai – bahkan Indonesia menduduki peringkat pertama, disusul dengan Thailand dan Argentina menurut Laporan “State of Mobile 2024”. 

“Saya melihat bahwa di antara akar permasalahan itu adalah ketergantungan kita dengan device digital dan konten itu sangat tinggi sebagai dampak dari inovasi teknologi. Jadi ada perubahan sosial yang tidak terantisipasi oleh para pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun tokoh masyarakat,” tutur M.Novel Ariadi sebagai Co-Founder dan Deputy Chairman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF). 

Dengan demikian, keamanan sosial siber memerlukan intervensi holistik, tidak hanya persoalan teknis semata. Lebih dari itu, mitigasi ancaman siber sosial memerlukan pendekatan dari lingkup terkecil untuk dapat memiliki daya tahan terhadap siber sosial. Benang merahnya adalah manusia di sini bertumpu sebagai subjek yang berada di tengah ekosistem media sosial yang sengaja dibuat untuk menciptakan ketergantungan sehingga mudah disusupi oleh ancaman siber sosial.