
Yogyakarta, 11 Februari 2025–Menurut Survei Ekonomi Nasional (Susenas), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 28 juta penduduk atau setara dengan 10% populasi nasional. Sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam lapangan kerja, terdapat regulasi yang mewajibkan sektor pemerintah untuk mempekerjakan paling sedikit dua persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai dan satu persen untuk perusahaan swasta. Meskipun demikian, Susenas mencatat bahwa jumlah penyandang disabilitas dengan usia produktif yang bekerja kurang dari 10%.
Sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-8 tentang pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi serta TPB ke-10 tentang berkurangnya kesenjangan, peluang kerja perlu dibuka selebar-lebarnya bagi penyandang disabilitas. Menurut Muhammad Fauzi, Dosen Tuli Universitas Esa Unggul, hal tersebut membutuhkan adanya pergeseran persepsi terkait tenaga kerja disabilitas yang cenderung dianggap sebagai memiliki keterbatasan sehingga menjadi aset yang berharga. “Perubahan persepsi membutuhkan waktu dan usaha kolektif dari pemerintah, swasta, media, dan masyarakat umum,” ujar Fauzi. Dengan demikian, tenaga kerja disabilitas dapat diakui sebagai aset penting dalam pembangunan ekonomi.
Lebih lanjut, peluang kerja bagi penyandang disabilitas dapat diperluas dengan memanfaatkan pertumbuhan ekonomi digital yang pesat di Indonesia, seperti dalam sektor jasa transportasi dan pengantaran melalui platform aplikasi ride-hailing. Menurut Shelly Pristine, Research Fellow Center for Digital Society UGM dalam acara Difussion #121 yang diselenggarakan CfDS UGM pada Selasa (11/2), opsi ini menjadi populer dan banyak diminati akibat kemudahan dalam mendaftarkan diri menjadi mitra pengemudi serta fleksibilitas pekerjaannya. Pekerjaan ini memberikan sejumlah dampak positif bagi penyandang disabilitas, seperti kebebasan finansial, kesempatan untuk mengasah keterampilan baru, serta membangun jejaring dan koneksi kerja baik dengan mitra pengemudi lainnya atau dengan pelanggan.
“Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang harus ditingkatkan, seperti pembuatan panduan komunikasi bahasa teks untuk memudahkan pengemudi Tuli serta edukasi pelanggan terkait inklusivitas,” ujar Shelly. Edukasi pelanggan merupakan hal yang krusial karena masih banyak pelanggan yang menolak pengemudi Tuli. Hal ini diakui oleh Clarina Andreny, Head of Public Affair Strategy, Policy, & Jabo Territory dari Grab Indonesia. Merespons hal tersebut, Clarina menyampaikan bahwa Grab Indonesia sendiri telah melakukan beberapa inisiatif seperti mengadakan fitur disability tagging serta auto chat untuk memberitahu pelanggan tentang kondisi pengemudi sehingga pelanggan dapat mengelola ekspektasi. Selain itu, Grab Indonesia juga memiliki sejumlah program dan fasilitas seperti Grab Access, Grab Excellence Center, Grab Academy, hingga Grab Gerak untuk membangun lingkungan kerja yang inklusif.