Departemen PSdK FISIPOL UGM Bahas Urgensi Perlindungan Anak di Ranah Online

Yogyakarta, 2 Mei 2025─Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM kembali menyelenggarakan Social Development Talks edisi Mei bertajuk “Masa Depan Interaksi Online Anak: Perlindungan dan Kebebasan dalam PP Tuntas” pada Jumat (2/5). Dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom dan dihadiri oleh lebih dari 100 peserta, Social Development Talks edisi Mei menghadirkan dua narasumber yang memiliki kepakaran dalam isu perlindungan anak, yaitu Tata Sudrajat (Save the Children Indonesia dan Mahasiswa Program Doktor PSdK) dan Chairani, S.Psi., M.Dist.St (Penyuluh Sosial Ahli Madya, Koordinator Pokja Kebijakan dan Kelembagaan, Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Kementerian Sosial RI).

Sesi pertama dibawakan oleh Tata Sudrajat, yang memaparkan materi mengenai urgensi perlindungan anak di ranah daring melalui regulasi PP Tunas. Peraturan ini mengatur tata kelola penyelenggaraan sistem elektronik (PSE) yang ramah anak, termasuk pembatasan usia minimum dalam menggunakan produk, layanan, dan fitur digital. PP Tunas hadir sebagai solusi atas tantangan pesatnya perkembangan internet dan dampaknya terhadap anak-anak.

Tata menyampaikan, “Anak-anak, khususnya di perkotaan dan anak perempuan, memiliki akses lebih tinggi terhadap penggunaan internet dan telepon seluler. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa 74,85% anak usia 7–17 tahun telah pernah mengakses internet secara mandiri. Meskipun membawa manfaat, tingginya akses ini juga menimbulkan risiko seperti kekerasan seksual online, cyberbullying, konten negatif, hingga eksploitasi komersial anak.”

Tata menyoroti pentingnya penerapan indikator Penilaian Layak Fungsi (PLF) dan penilaian risiko konten yang dapat diakses oleh anak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat 2 PP Tunas. Dalam pendekatan sistem ekologi perlindungan anak, peran resiliensi menjadi penting: setiap anak berpotensi bangkit dari keterpurukan, dengan dukungan dari orang tua dan lingkungan yang membangun batasan serta pemahaman. Kompetensi digital juga menjadi area penting agar masyarakat dapat beradaptasi secara aman di era digital.

Menyetujui pemaparan tersebut, Chairani turut memaparkan bahwa sekitar 22% anak-anak Indonesia mengalami risiko kekerasan seksual, yang sebagian besar berkaitan dengan penggunaan internet. Meskipun internet menyimpan banyak potensi positif, risikonya terhadap anak-anak perlu dikelola secara serius. Ia juga menekankan pentingnya kerja kolaboratif dari berbagai aktor—anak, keluarga, sekolah, pesantren, panti, teman sebaya, serta komunitas dan masyarakat—untuk mengurangi risiko yang dihadapi anak di dunia digital.

Artikel selengkapnya dapat dibaca melalui tautan berikut.