Yogyakarta, 18 Juli 2024─Dalam upaya memperkuat diskursus mengenai ilmu sosial sebagai lokomotor transformasi sosial, Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fisipol UGM mengadakan The 4th Graduate Symposium. Simposium yang dilaksanakan pada Kamis (18/07) di Auditorium Fisipol UGM ini mengambil tema “Ilmu Sosial Emansipatoris di Era Reformasi”. Simposium ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai peran yang perlu diambil oleh ilmu sosial demi menjawab berbagai tantangan di era reformasi yang kompleks. Acara ini menghadirkan Prof. Gerry van Klinken, peneliti senior Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) sebagai pembicara utama.
Gerry menafsirkan pemikiran Erik Olin Wright yang disampaikan dalam buku Envisioning Real Utopias. “Ia (Erik Olin Wright) mendefinisikan ilmu sosial emansipatoris sebagai ilmu pengetahuan ilmiah yang bersentuhan dengan upaya bersama untuk menantang berbagai bentuk penindasan manusiawi,” jelasnya.
Ia kemudian menjelaskan bahwa ilmu sosial emansipatoris erat kaitannya dengan nilai atau tujuan moral yang mutlak dalam produksi ilmu pengetahuan. “Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang positivistik yang sengaja menjauhkan moral karena bisa mengotori, ilmu sosial emansipatoris justru mengedepankan nilai dan tujuan moral,” tutur Gerry.
Gerry kemudian menyebutkan bahwa ada tiga ciri ilmu sosial emansipatoris. Ciri yang pertama adalah diagnosa kritis. Untuk menyampaikan diagnosa kritis tersebut diperlukan paham mengenai keadilan yang jelas dan menjunjung tinggi demokrasi secara utuh. Ciri yang kedua setelah muncul diagnosa, ilmu sosial emansipatoris diharapkan dapat mencari alternatif atau jalan lain yang lebih adil untuk setiap manusia. Ciri yang ketiga adalah bagaimana alternatif tersebut mungkin untuk diterapkan dan dicapai dalam realitas masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik.
Namun, Gerry menyampaikan bahwa pemikiran Erik tersebut adalah ilmu sosial emansipatoris yang ideal. Ia kemudian menambahkan bahwa dalam realitas dunia ini, idealisme yang utuh tidak bisa diterapkan seutuhnya. Ia kemudian mengutip buku Social Science and Power in Indonesia yang menurutnya dapat memberikan gambaran bagaimana ilmu sosial di Indonesia dipraktikkan terutama selama orde baru. “Berbagai Ilmu sosial di Indonesia ditekan agar menaati butir-butir patokan yang diturunkan dari atas yang terutama menggarisbawahi pertumbuhan ekonomi, stabilitas, dan tidak diganggunya tatanan sosial,” tutur Gerry.
Tidak hanya itu, Gerry menyampaikan bahwa tantangan ilmu sosial kemudian tidak hanya terbatas pada penjara otoritarianisme. “Ilmu sosial tidak lagi hanya ditekan oleh otoritarianisme seperti di Orde Baru, di masa depan ilmu sosial menghadapi tantangan berupa cengkraman pasar,” katanya.
Berbagai tekanan atau ketegangan itu muncul dari berbagai tingkatan. Tingkatan yang pertama adalah tingkatan intelektual yang sering kali dikuasai oleh hegemoni intelektual sehingga pemikiran setiap orang tidak bisa merdeka. Tingkatan yang kedua adalah tingkatan lembaga yang sulit untuk menghilangkan kritik terhadap lembaga itu sendiri karena ketergantungan penelitian terhadap pendanaan dan tekanan lembaga pemerintahan. Tingkatan terakhir adalah tingkatan sosial yang kerap masyarakat juga mendambakan keajegan dalam tatanan sosialnya ataupun kepentingan-kepentingan antar kelompok.
Sebagai penutup, Gerry menyampaikan pentingnya peran ilmu sosial emansipatoris dalam menjawab berbagai tantangan tersebut. “Ilmu sosial emansipatoris ingin memulihkan optimisme bahwa perubahan sosial yang berkeadilan mungkin dicapai dengan meneliti relasi dan lembaga secara radikal untuk menumbuhkan kesetaraan demokratis,” tutupnya.
Adapun simposium ini menjadi manifestasi upaya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) poin 4 tentang pendidikan berkualitas, poin 10 tentang berkurangnya kesenjangan, dan poin 16 tentang perdamaian, keadilan, dan keadilan yang tangguh.