Desain Pembangunan untuk Memproteksi Orang Asli Papua

Yogyakarta, 29 Juli 2020 – Gugus Tugas Papua dan Pusat pengembangan Kapasitas dan Kerjasama Fisipol UGM menyelenggarakan acara papua strategic policy forum yang ke 6. Pada kesempatan kali ini diskusi membahas topik mengenai desain pembangunan untuk memproteksi orang asli papua.  Acara ini menghadirkan pembicara kondang dari berbagai latar belakang ilmu maupun jabatan diantaranya Prof. Dr Agus Pramusinto, Mohamad Lakotani, Kristosimus Yohanes Agawemu, Prof. Dr. Balthasar Kambuya, Prof. Wihana Kirana Jaya, Andi Sandi, dan Isep Parid Yahya.. Diskusi ini berlangsung secara daring melalui platform Zoom dan dipandu oleh Laily Fadliyah sebagai moderator.

Acara diskusi pagi ini dibuka dengan sambutan kepala gugus tugas papua yaitu Bambang Purwoko. Dalam kesempatan ini Pak Bambang menyampaikan bahwa terdapat beberapa problema umum terkait pembanguanan yang terbagi dalam tiga kategori yaitu bias pusat, bias kota, dan bias proyek. Sedangkan secara khusus, problema pembangunan yang terjadi di Papua berangkat dari masalah pemberlakuan desentralisasi terkait politik pemerintahan namun disisi lain juga terdapat sentralisasi dalam hal keuangan dan administrasi. Hal tersebut menjadi prolema tersendiri yang menyebabkan kompleksitas permasalahan yang terjadi di papua. Melalui diskusi ini, Pak Bambang berharap akan ada berbagai masukan positif untuk penyusunan kebijakan di papua.

Menuju pembicara pertama, yaitu Agus Pramusinto selaku ketua komisi aparatur sipil negara RI menyampaikan materi mengenai meritokrasi dalam penataan birokrasi di papua. Berbicara mengenai meritokrasi, Prof Agus menyampaikan bahwa sistem ini merupakan suatu pemerintahan yang melakukan seleksi berbasis pada kemampuan. Menurut Prof Agus penting juga untuk menjaga posisi ASN agar tidak terseret dalam ranah politik praktis. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pilitik balas budi yang dapat mengacaukan sistem meritokrasi yang ada. Oleh karena itu, adanya program afirmasi dalam perekrutan ASN perlu disertai dengan keadilan. Hal tersebut berarti bahwa dalam suatu perekrutan harus terdapat kompetisi dari antar suku, namun pemerintah harus dapat memastikan keterwakilan yang adil dari antar suku tersebut.

Selanjutnya, pembicara kedua yaitu Prof Balthasar Kambuaya seorang perwakilan akademisi dari Universitas Cenderawasih. Dalam materi yang beliau sampaikan, terdapat poin penting dimana pergeseran pendekatan pembangunan di papua dari security approach menjadi prosperity approach nyatanya masih menjadikan papua hanya sebagai penonton.  Dalam hal ini mereka masih belum memiliki suara dan pengaruh. Selain itu, ia juga menyampaikan bahwa terkait pembentukan partai politik lokal yang masih belum terealisasi juga menjadi permasalahan yang ada di papua. Oleh karena itu, beliau menyampaikan beberapa solusi untuk menjadikan orang asli papua sebagai subjek pembangunan diantaranya keberpihakan yang diberikan bagi orang papua harus bersifat diskriminatif namun positif. Dalam artian ini, keberpihakan juga harus bertumpu pada kemampuan dan kapasitas seseorang. Selanjutnya, yaitu mendorong perbaikan berbagai regulasi, dan terakhir pentingnya penguatan kapasitas bagi orang asli papua dalam bidang politik, hukum, dan demokrasi.

Materi diskusi selanjutnya berbicara mengenai terobosan hukum afirmatif untuk memproteksi berbagai hak orang asli papua. Materi ini disampaikan oleh Andi sandi yang saat ini menjadi akademisi di UGM.  Dalam materi yang disampaikan, Andi menggambarkan bahwa terkait pelaksanaan kebijakan kekhususan di berbagai daerah di Indonesia baik di NAD, DIY, maupun DKI masih terdapat permasalahan dalam implementasinya. Selain itu, dalam materinya, Andi juga menjelaskan upaya untuk membungkus afirmasi yang dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya dengan pendetailan afirmasi pada level UU, bentuk pemerintahan disesuaikan dengan kondisi adat masyarakat setempat, perlunya pengetatan dalam penggunaan dana akselerasi seperti dana otsus, dan terakhir perlu memberikan opsi atau pilihan bagi masyarakat papua apakah mereka mau menjadi masyarakat modern. Terakhir Ia juga menyampaikan bahwa standar dalam pemberian afirmasi dapat dilakukan dalam bidang Pendidikan atau pemberian standard tertentu dalam suatu pekerjaan formal.

Menyambung materi selanjutnya, Prof. Wihana Kirana Jaya menyampaikan topik diskusi mengenai tawaran desain pembangunan ekonomi inklusif berbasis pemberdayaan lokal. Menurut prof. Wihana pendekatan pembangunan di papua harus dilakukan dengan suatu pendekatan yang bersifat extraordinary. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya diperlukan identifikasi kebutuhan masyarakat setempat. Hal itu bertujuan untuk mengetahui kombinasi antara apa yang dibutuhkan masyarakat dengan kebijakan yang akan dirumuskan.

Materi penting selanjutnya disampaikan oleh Isep Parid Yahya mengenai kebijakan proteksi untuk orang asli papua. Dalam pemaparannya ia memberikan komparasi pemberlakuakan kebijakan proteksi di negara lain seperti Brazil. Selanjutnya, dua pembicara terakhir dalam diskusi papua strategic forum berasal dari latar belakang pemerintah papua yaitu Mohamad Lakotani, Wakil Gubernur Papua Barat dan Kristomus Yohanes, Bupati Mappi. Pemaparan materi dari dua pembicara terakhir dapat memberikan gambaran mengenai realita pelaksanaan kebijakan yang terjadi di Papua. Pengalaman mereka di lapangan, juga memberikan insight yang bermanfaat dalam diskusi ini.

Diskusi Papua strategic forum pada dasarnya bertujuan untuk mencari solusi atas problema yang terjadi di Papua. Dalam konteks ini, berbagai prinsip tata kelola pemerintahan modern, contohnya sistem meritokrasi masih belum bisa diimplementasikan di Papua. oleh sebab itu, diperlukan suatu model kebijakan yang adaptif dan akomodatif untuk wilayah Papua. Dengan hal tersebut diharapkan keadilan dan kesejahteraan juga dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat yang ada di Papua. (/Mdn).