Difussion #23-Digital Preaching : Cara baru untuk Menyebarkan Kedamaian

Yogyakarta, 8 Mei 2020—Center for Digital Society (CfDS) kembali mengadakan digital future discussion (DIFUSSION) #23 bertajuk Digital Preaching a New Way to Spread Peacefulness. Pada kesempatan kali ini, CfDS menghadirkan dua narasumber yaitu Nafilah Safitri dari AIS Nusantara dan Yohanes Tri Atmaja, CEO The Messenjah.  Event kali ini dimoderatori oleh Fedryno Geza Ramadha yang menjabat sebagai manager event dan sosial media dari CfDS.  Diskusi ini disiarkan melalui Live Streaming platform Youtube dan berlangsung dari pukul 15.00-16.30 WIB.

Digital Preaching sendiri biasa dikenal masyarakat dalam penyebaran informasi keagamaan seperti khotbah digital atau dakwah digital. Dalam hal ini, terdapat pergeseran dari metode penyebaran informasi keagamaan yang sebelumnya konvensional kemudian berkembang dengan memanfaatkan platform digital, terutama media sosial.

Yohanes atau biasa dipanggil Yoyo mengatakan bahwa digital preacing dalam definisi sederhana dapat diartikan sebagai sarana penyebaran informasi-informasi keagamaan menggunakan platform digital. Dalam penuturannya, kalangan Kristen sendiri sudah cukup lama menggunakan metode ini. Sejak tahun 90 an kegiatan khotbah melalui televisi sudah cukup massif dilakukan. Namun, seiring perkembangan dan kemunculan sosial media, kegiatan-kegiatan tersebut turut menyesuaikan dan memanfaatkan kemunculan media sosial.

Sebagai lulusan Ilmu Teologi dan Sekolah Alkitab, Yoyo kemudian mendirikan semacam kelompok kelas rohani dengan nama The Messenjah. Organisasi ini berdiri dari tahun 2001 namun mulai berkembang lebih besar sejak tahun 2007/2008. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh The Messenjah diantaranya adalah menjual barang dengan tulisan-tulisan rohani, seperti kaos. Selain itu, organisasi ini juga melakukan kegiatan sosial seperti memberikan beasiswa sejak tahun 2010 dan kegiatan berbagi dengan orang-orang yang membutuhkan.

Narasumber kedua, yaitu Nafilah Safitri menyampaikan juga bahwa Digital Preaching sudah sejak lama dimanfaatkan dalam kegiatan menyeru atau berdakwah dalam agama islam. Hal tersebut bisa dilihat dalam kultum di TV, Khotbah-Khotbah, dan kegiatan lain yang awalnya dimulai dari penggunaan televisi dan radio. Dengan perkembangan teknologi yang cukup pesat, kegiatan-kegiatan tersebut juga turut bergeser dengan memanfaatkan media sosial. Hal ini pula yang melatarbelakangi berdirinya AIS Nusantara dari tahun 2016, yang merupakan komunitas perkumpulan Admin Instagram Pesantren. Kegiatan yang dilakukan oleh AIS Nusantara diantaranya adalah literasi digital. Kegiatan ini  berfokus pada penyebaran nilai-nilai islam yang damai dengan tujuan mengkonter narasi-narasi negatif mengenai islam, seperti islamophobia dan isu mengenai islam sebagai ajaran teroris. Selain itu, AIS Nusantara juga aktif mengunjungi pesantren-pesantren sekaligus memberikan berbagai pelatihan terkait digitalisasi kepada pelajar di pesantren, contohnya adalah pelatihan desain grafis.

Pemanfaatan media sosial sebagai sarana dalam digital preaching ini mendapatkan respon positif dari berbagai kalangan. Hal ini disampaikan baik oleh Yoyo maupun Nafila. Meskipun demikian, menurut Yoyo, penyampaian informasi keagamaan secara konvensional tetap harus dilakukan. Hal ini mempertimbangkan bahwa kebutuhan rohani tidak hanya sebatas materi saja, namun juga diperlukan sentuhan-sentuhan emosional secara langsung.

Pada pertengahan diskusi, kedua narasumber menuturkan strategi masing-masing komunitasnya dalam menyampaikan pesan perdamaian. Dalam hal ini, AIS Nusantara menyebarkan pesan damai tersebut dengan mengangkat konten-konten ringan yang mudah diterima masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari pertimbangan bahwa bicara agama tidak selalu mengenai isu-isu yang berat. Namun, bicara agama sendiri tidak terlepas dari kegiatan sehari-hari. Sedangkan The  Messenjah lebih memanfaatkan penyampaian konten-konten yang berkaitan dengan pesan-pesan damai. Dalam penuturan Yoyo, perbedaan itu memang realita dalam kehidupan, pesan perdamaian bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Pesan damai itu akan muncul sendiri ketika mereka sadar siapa diri mereka.

Pada penutup diskusi, kedua narasumber menyampaikan bahwa, meskipun digital preaching memudahkan penyebaran informasi keagamaan, hal tersebut masih perlu diimbangi dengan kemampuan memfilter berita-berita yang ada. Hal ini bertujuan untuk memperoleh pesan dan informasi keagamaan yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. (/Mdn)