Difussion CfDS #25: Membahas Aktivisme Digital Bersama Manchester Metropolitan University

Yogyakarta, 18 Mei 2020—Center for Digital Society (CfDS) kembali menghadirkan Difussion  ke-25 yang membahas mengenai Digital Activism bersama Adi Kuntsman selaku Dosen Senior di bidang Politik Digital, Manchester Metropolitan University serta Paska Darmawan selaku Manager Digital Intelligence Lab CfDS melalui kanal Youtube Live.

Dipandu oleh Kevin Wong selaku Asisten Direktur Evaluasi Kebijakan dan Unit Penelitian di Manchester Metropolitan University, diskusi pertama diawali dengan “Selfie Politics: Dream and Danger of Online Visibility” oleh Adi Kuntsman yang membahas  mengenai munculnya bentuk keterlibatan politik individu dan kolektif melalui konsep ‘Selfie Citizenship’. Menggunakan contoh selfie tentara Israel, Kuntsman mendiskusikan bagaimana selfie di media sosial dapat mendukung kekerasan militer suatu negara.

“Selfie sebagai proses politik di media sosial terlihat dari pendudukan militer Israel terhadap Palestina yang menjelaskan bagaimana budaya dan politik militer dapat masuk ke dalam domain digital. Fenomena yang muncul mengenai bagaimana perang dan serangan bersenjata diumumkan di Twitter, dimiliterisasi sebagai alat propaganda yang sudah dianggap lumrah,” ujar Kuntsman.

“Banyak dari selfie mereka yang memiliki filter retro tampak ‘cantik’ tanpa merujuk pada kekerasan yang mereka lakukan. Satu-satunya gambaran yang dapat memperlihatkan tindakan yang mereka lakukan adalah caption disertai  tagar yang mereka gunakan,” ujar Kuntsman.

“Orang akan bisa melihat perubahan dalam ikonografi yang memperlihatkan kekerasan tentara Isrel kepada para korban Palestina. Kasus ini merupakan contoh Digital Militarism Citizenship, yaitu gagasan tentang kewarganegaraan nasional yang sangat melekat pada budaya militer secara halus melalui permainan yang tidak ada hubungannya dengan perang lewat media sosial, “ ungkap Kuntsman.

Selain selfie yang digunakan secara negatif oleh militer,  fenomena selfie sebagai aktivisme digital yang positif juga dapat dilihat dari pesan politik berupa poster dan tagar yang semakin umum digunakan. Contohnya #BlackLivesMatter atau yang terbaru poster “We Stay At Work For You, You Stay At Home For Us”.

Selanjutnya, diskusi bertajuk  “Echoing Gejayan’s Call: The Role of Twitter in Mobilizing Protest” yang dibawakan oleh Paska Darmawan selaku Manager Digital Intelligence Lab CfDS,  menjelaskan bagaimana Gejayan Memanggil yang merupkan demonstrasi politik terhadap RUU bermasalah pada 23 September2019 silam dapat efektif memobilisai massa secara masif melalui Twitter.

“Informasi yang disebarkan di Twitter dengan menggunakan tagar #GejayanMemanggil sehari sebelum demo yaitu tanggal 22 September, dilakukan oleh para aktivis untuk menyebarkan informasi secara cepat di Twitter yang memfasilitasi adanya mass mobilization lewat fitur retweet, reply dan like,” ujar Paska.

“Twitter dipilih karena lebih aksesibel dibanding Instagram, WhatsApp dan Line. Twitter yang merekam percakapan publik serta banyaknya pengguna, dapat secara mudah dianalisa melalui API ( Application Programming Interface ) yang mampu mengumpulkan data dengan volume besar dari Twitter,” ujar Paska.

Data yang terkumpul berjumlah 48.574 dengan tagar #GejayanMemanggil, dianalisis  melalui metode Social Network Analysis (SNA) serta Content Analysis. Melalui Analisis tersebut, terlihat bahwa Twitter dapat membantu aktivis dalam mengorganisir demonstrasi secara lebih efektif dan dapat memfasilitasi perkembangan ‘weak ties’.

Paska menyimpulkan, retweet yang digunakan untuk melakukan aksi sosial digunakan oleh aktivis melalui pembuatan tagar popular yang nantinya muncul pada trending topik sehingga  mendapat retweet yang masif. Retweet tersebut bertujuan untuk mengajak audiens yang lebih luas serta meningkatkann kesadaran masyarakat. Hal tersebut terbukti menjadi penting bagi aktivisme generasi muda sebagai ruang untuk berpartisipasi dalam diskusi politik. (/Afn)