Digitalk #39 Session 2 Talk 5: Memahami Data Sovereignity dan Penggunaannya oleh Negara

Yogyakarta, 28 April 2020—Center of Digital Society (CfDS) mengangkat seri Digital Discourses bertajuk “Data Sovereignty: Does it Matter where Data is Stored? yang diisi oleh Tony Seno Hartono, seorang praktisi di bidang  ICT (Information, Communication, Technology)  yang telah berkecimpung selama 30 tahun.

Disampaikan Tony, Data Sovereignty atau ‘kedaulatan data’ adalah suatu konsep mengenai privasi data yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi data yang disimpan. Hal ini dilakukan untuk menegakkan peraturan privasi dan mencegah data mengalami penyalahgunaan.

Namun, Data Sovereignty dapat menjadi masalah hukum yang kompleks. Hal ini pun diilustrasikan dengan sebuah skenario, apabila suatu organisasi yang berada di Indonesia menggunakan layanan cloud computing dari perusahaan Amerika yang juga berpusat di Amerika Serikat, data tersebut akan disimpan dan diproses di beberapa pusat data di seluruh dunia.

Apabila suatu saat Pemerintah Amerika melakukan penyeledikan terhadap kasus dugaan terorisme, Pemerintah Amerika dapat meminta penyedia layanan cloud computing untuk memberikan beberapa data pribadi yang diduga menyimpan informasi terorisme untuk menyatukan dan memperkuat bukti.

Namun jika data terkait ada di perusahaan layanan cloud computing lokal Indonesia, Pemerintah Amerika dapat mengakses data menggunakan Mutual Legal Assistance (MLA) serta melalui penegakan hukum data yang ada di Indonesia.

Ilustrasi tersebut pun dapat dilihat dari USA PATRIOT Act (Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act) yaitu sebuah Undang-Undang federal Amerika Serikat (AS) yang memberikan wewenang kepada pemerintah AS untuk mengatasi terorisme.

“Penyeledikan terrorisme dapat dilakukan secara diam-diam tanpa pengetahuan konsumen, dalam memberikan keamanan nasional terhadap kejahatan nyata maupun kejahatan dunia maya, pemerintah perlu mengakses semua data yang relevan terlepas dari dimana lokasi data pribadi tersimpan. Pemerintah dapat meminta data melalui akses bantuan hukum timbal balik atau Mutual Legal Assistance (MLA),” ujar Tony. “Pada akhirnya, tidak penting dimana data tersimpan karena pemerintah akan selalu bisa mendapatkannya,“ ujar Tony.

“Untuk Indonesia sendiri saat ini masih belum punya undang-undang mengenai perlindungan data pribadi, kita masih baru mempunyai rancangan undang-undang yang telah ditandatangani oleh Presiden RI pada 24 Januari 2020 silam. Rancangan Undang-Undang Data Pribadi (RUU PDP)  ini nantinya mendefinisikan definisi data pribadi, jenis data pribadi, penghapusan data pribadi serta pelanggarannya,” ujar Tony.

Nantinya, ada sembilan sektor yang memiliki data prioritas yang akan diproteksi. Diantaranya sektor administrasi sekretariat pemerintah, sektor  Energi, sektor Sumber Daya Mineral, sektor  transportasi, sektor keuangan, sektor kesehatan, sektor teknologi informasi dan komunikasi,sektor ketahanan pangan, serta sektor pertahanan. (/Afn)