Diskoma#10 Tinjau Definisi Kebenaran di Era Post-Truth

Yogyakarta, 17 November 2023─Masifnya perkembangan media saat ini berkelindan dengan konglomerasi media dimana pihak pemilik media memiliki kuasa untuk menciptakan framing pemberitaan dan menentukan arah konten yang didistribusikan. Akibatnya, kebenaran informasi saat ini merupakan hal yang dipertaruhkan. Sebagai rangkaian acara menyongsong Graduate Students Symposium on Communication Science (GSSC) 2023, Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) selenggarakan webinar bertajuk “Melihat ‘Truth’ di Era Post-Truth” pada Jumat (17/11) secara daring melalui Zoom Meeting dan Youtube Live – Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Kegiatan diskusi ini juga mendukung tujuan SDGs poin 16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan. 

Faudyan Eka Satria, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM, menyebut bahwa post-truth selalu berkaitan dengan hoaks serta diperparah oleh internet dan media sosial. Menurutnya, karakter post-truth adalah bagaimana kita selalu berupaya mengonsumsi informasi dengan tempo waktu yang cepat sehingga tidak bisa memaknai arti informasi tersebut dan menyebabkan kegamangan. 

“Definisi post-truth bukan lagi melihat fakta sebagai puncak dari suatu informasi, tapi bagaimana melihat data ini sebagai pintu utama sebelum memasuki diskusi yang sehat,” imbuhnya. Faudyan menyebut bahwa meme saat ini juga menjadi representasi generasi muda dalam menikmati informasi yang tidak hanya sekadar kulit saja. Artinya, kultur meme memaksa kawula muda untuk melihat konteks lebih dalam yang diberikan meme pada suatu konten, postingan, hingga fenomena.

Terminologi Amono Wikan, Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers, menjelaskan definisi post-truth dari sisi pers dan public relations. Menurutnya, kebenaran dalam konteks pers selalu dalam kebenaran yang terkait jurnalistik. Artinya, kebenaran ini dibatasi oleh karya jurnalistik yang memiliki kaidah dan pedoman yang harus ditaati untuk menciptakan informasi berkualitas. Amono juga menyebut bahwa kebenaran saat ini telah dipersepsi oleh publik. 

“Ini menjadi permasalahan serius dengan newsroom milik media arus utama. Agenda setting dan framing yang dibangun menjadi hancur lebur karena publik tidak membutuhkan hal itu, yang dibutuhkan publik adalah informasi atau berita yang mereka inginkan saja,” jelas Amono. Menurutnya apa yang diyakini publik sebagai kebenaran, maka itulah kebenaran.

Sementara itu, Mufti Nurlatifah, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, sepakat bahwa saat ini banyak perusahaan media telah kehilangan kepercayaan dan legitimasi publik akibat informasi yang tidak terverifikasi, framing tidak utuh, kredibilitas yang dipertanyakan, hingga kualitas jurnalisme yang buruk. Padahal perusahaan media khususnya digital saat ini memiliki potensi seperti hipertekstualitas, interaktivitas, multimedialitas yang bisa digunakan media untuk menciptakan kebenaran dan meraih kepercayaan.

“Fungsi media dalam membentuk framing yang bisa menjembatani keberpihakan media kepada publik seharusnya bisa mengatasi (masalah) ini, tapi justru ini yang tidak terjadi,” ungkapnya.

Sementara itu, menurut Mufti hal yang perlu dilakukan oleh media untuk menjaga kredibilitas dan menjamin informasi kepada publik diantaranya yaitu menyediakan informasi yang baik dengan sudut pandang objektif, memfasilitasi banyak sudut pandang melalui kontribusi audiens dalam media, memperhatikan keberagaman, serta mengoptimalkan potensi media pada proses produksi dan diseminasi informasi. (/dt)