Yogyakarta, 5 Juli 2023—Generasi muda telah mendominasi sekitar 24% dari total populasi penduduk. Tentunya, menjelang bonus demografi 2045, peran generasi muda semakin dibutuhkan. Peran penting tersebut bukan tanpa hambatan, generasi muda atau biasa didominasi oleh Gen Z dan milenial banyak mengalami tantangan dengan perubahan yang begitu drastis dalam masa transisi ini, baik di bidang sosial, budaya, pendidikan, bahkan teknologi. Isu ini dibahas tuntas dalam salah satu rangkaian diskusi “Australia-Indonesia in Conversation: Valuing Democracy and Diversity: Equity, Leadership, and Social Justice” bertema “Youth Driving Change: Supporting Youth and Addressing Inequality” pada Rabu (5/7).
“Kita melihat banyak tantangan yang dihadapi oleh generasi muda. Pertama, sangat sulit bagi kaum muda untuk mendapatkan pekerjaan yang tetap dan stabil di era ini. Memang banyak bermunculan peluang kerja digital, freelancer, dan lain-lain, tapi hal tersebut tidak membuat generasi muda bisa mendapatkan pendapatan yang stabil,” ungkap Dr. Oki Rahadianto Sutopo, selaku Dosen Departemen Sosiologi sekaligus Direktur Eksekutif Youth Studies Center (YouSure) UGM.
Menurut Oki, keadaan tersebut berdampak pada kemampuan generasi muda untuk membeli properti, baik tanah maupun tempat tinggal. “Harga tanah semakin naik, namun pendapatan justru tidak stabil. Ini menyebabkan ketimpangan yang begitu besar. Belum lagi jika sebagian dari mereka sudah bertanggung jawab dalam finansial keluarganya. Pun begitu masih banyak yang mengatakan bahwa generasi muda ini lemah karena sering kelihatan ngeluh di media sosial,” tambahnya.
Tekanan ini mengakibatkan normalisasi hustle culture pada generasi muda. Efeknya, banyak kelompok muda yang tidak dapat mengikuti tekanan dan berakhir memilih jalan lain, bahkan menjadi kriminal. Studi yang dipaparkan Oki menyatakan bahwa fenomena klitih adalah salah satu contoh nyata bagaimana generasi muda bereaksi terhadap budaya ini. “Anak-anak muda yang tergabung dengan klitih itu bukan tanpa impian, hanya saja mereka tidak memiliki priviledge dan menghadapi hambatan yang terlalu besar untuk mencapai mimpinya,” ucap Oki.
Tak hanya di Indonesia, Associate Professor dari University of Melbourne, Diana Johns, juga menyatakan bahwa hal serupa terjadi di Australia. “Representasi kaum muda dalam konteks kriminal ini bukan semata-mata karena individu, melainkan konstruksi sosial masyarakat itu sendiri. Jika kita melihat lingkungannya, generasi muda saat ini sering mengalami diskriminasi bahkan sejak di bangku sekolah dasar. Masyarakat pun kerap membentuk asumsi bahwa generasi muda dianggap belum stabil dan memiliki tendensi kriminalitas yang tinggi,” tutur Diana. Menurutnya, terjadinya bullying dan diskriminasi inilah yang menjadi pembentuk karakter generasi muda saat beranjak dewasa.
Walaupun stigma negatif kerap dilabelkan pada generasi muda, kita bisa melihat bahwa kreativitas dan jiwa inovatif pada sebagian besar individu justru sangat tinggi. Angki Purbandono, pencetus Prison Art Program memaparkan bagaimana narapidana memiliki kebebasan jiwa dalam seni. “Perjalanan saya selama menjadi narapidana menjadikan penjara sebagai tempat observasi baru, di mana saya mendapatkan banyak inspirasi dan akhirnya terciptalah program ini. Saya juga sering berkesempatan untuk mengunjungi penjara-penjara dalam rangka menyalurkan bakat seni narapidana. Harapannya, karya-karya tersebut bisa memperbaiki kembali citra narapidana di mata masyarakat yang semakin memburuk,” kata Angki.
Diskusi panel kedua yang diselenggarakan oleh kerja sama antara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM dan universitas di Australia ini membuahkan bahasan isu dari berbagai sudut pandang. Hal ini tentunya dapat memberikan pencerahan tentang bagaimana generasi muda perlu mendapatkan dukungan sebagai penopang bangsa di masa depan. (/tsy)