Diskusi HI : Menilik Strategi Cina Dalam Menghadapi Isu Amerika, Hongkong, Hingga India

Yogyakarta, 16 Juni 2020—Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) Fisipol UGM kembali menyelenggarakan diskusi bulanan bertajuk “Cina: Mengarungi ‘Badai’ di Tiga Front” yang dipandu oleh Randy Wirasta Nandyatama bersama tiga pembicara; Yeremia Lalisang, Treviliana Putri, dan Yunizar Adiputera melalui platform WebEx pada Senin silam.

Diskusi diawali oleh Yeremia Lalisang, dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia yang menjelaskan mengenai aktor-aktor pengambil kebijakan luar negeri Cina dan tarik-menarik kepentingan didalamnya, khususnya dalam konteks hubungan dengan Amerika Serikat (AS). “Saat Xi Jinping menduduki posisi tertinggi otoritas domestik di Cina, mulai muncul image yang dipopulerkan media dan akademisi barat bahwa Xi Jinping merupakan pemimpin terkuat di Cina setelah Mao Zedong. Padahal menurut pengamatan saya, Cina mengalami kompleksitas. Xi Jinping sering dianggap sebagai pemegang kuat otoritas yang tersentralisasi, padahal secara common sense mungkinkah ada manusia yang mengurusi secara detail every single decision di Cina?,” ujar Yere membuka diskusi.

Menggunakan paradigma state transformation, Yere menganalisis bahwa Cina memiliki tiga faktor yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri di Cina. Pertama adalah fragmented, yakni fragmentasi didorong ketika Cina mulai memeluk kapitalisme. “Ada dorongan privatisasi, sehingga muncul aktor lain yang secara signifikan memengaruhi kebijakan. State Owned Enterprise (SOE) di Cina yang muncul banyak memengaruhi policy making. SOE yang tumbuh aktor-aktornya punya pertimbangan dan bergerak sendiri,” ucap Yere.

Aspek kedua adalah desentralisasi. “Adanya desentralisasi autonomous region seperti Xinjiang, Hong Kong atau Makau membuat daerah tersebut tidak bisa dikontrol sepenuhnya meskipun ada usaha Beijing untuk exercise control” ujar Yere. Faktor terakhir adalah aspek internasionalisasi yaitu aktor yang tadinya hanya bergerak di regional, sekarang punya jejaring global seperti munculnya global cities kota Xiamen dengan Surabaya yang bekerjasama membangun sister city. “Internasionalisasi aktor yang tadinya hanya dianggap aktor lokal, mau gak mau punya network internasional sehingga apa yang diputuskan Beijing akan berpengaruh pada aktor lokal, dan sebaliknya aktor lokal juga ikut memengaruhi agar usahanya tidak terlalu terganggu,” ujar Yere.

Melalui tiga faktor tersebut, dapat dikatakan bahwa kekuatan Cina sangat kompleks dan tidak tersentralisasi. Maka, konflik antara Cina dan AS merupakan hubungan yang kompleks pula dimana lain isu, lain juga aktor dominannya. Selalu ada aktor yang berbeda di dalam Cina untuk melakukan decision making. Hubungan dengan AS juga akan selalu menjadi wadah pertarungan yang konstan antara kekuatan-kekuatan politik yang berkepentingan.

Selanjutnya, Treviliana Eka Putri selaku Dosen Hubungan Internasional UGM yang berfokus pada isu digital, membahas mengenai  hubungan antara isu hak asasi manusia dan aktivisme digital dalam protes di Hong Kong.

RUU Ekstradisi di Hong Kong yang diprotes tahun lalu, kembali muncul karena Beijng kembali mengumumkan adanya RUU Keamanan Nasional yang kembali diprotes. Meskipun di masa pandemi, protes tersebut tetap berjalan demi menyuarakan aspirasi mereka terkait kebijakan pemerintah.

Menurut Trevi ada dua hal yang perlu dinilai ketika melihat aspek HAM dan teknologi, terutama terkait privasi dan freedom of expression. Dalam kasus unjuk rasa, kegiatan aktivisme berupa aktivisme kelompok melalui apa pun jenis medianya, setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat.

“Ketika masyarakat merasa risky untuk turun kejalan, protes dilakukan lewat internet. Era digital memungkinkan kita untuk bisa express ourselves ketiika kita mendapat represi di offline arena. Namun, ada sisi lain teknologi yang berkaitan dengan privasi dan kebabasan ekspresi, yaitu makin berkembangnya teknologi,  berkembang pula penggunaan Artificial Intellegence (AI) dan Machine Learning(ML) yang dapat melakukan deteksi,” ujar Trevi.

Adanya surveillance technologies oleh negara menyebabkan demonstran di Hong Kong memakai masker wajah dan payung agar identitasnya tidak teridentifikasi. Karena negara mempunyai database masyarakat, demonstran akan lebih mudah diidentifikasi oleh otoritas.

Selain itu, warganet juga menjadi kelompok yang penting dalam politik domestik di Cina. Di Hong Kong, protes di  sosial media sangat berpengaruh dengan cara membagikan informasi antar demonstran seperti live report dan discussion board yang menambah solidaritas demonstran. Adanya discussion board membuat unjuk rasa di Hong Kong seperti leaderless movement, yaitu  tidak adanya tokoh utama yang memimpin demonstrasi sehingga membuat pemerintah menjadi sulit untuk mengidentifikasi siapa key opinion leader secara pasti.

Terakhir, Yunizar Adiputera selaku Dosen Hubungan Internasional UGM membahas mengenai apa, mengapa, dan bagaimana implikasi dari memanasnya relasi Cina dan India belakangan terhadap keamanan internasional.

India-Cina yang telah bersengketa merebut perbatasan telah dimulai sejak tahun 1950-an. Seperti banyak negara pasca kolonial yang mengalami arbitrary imposition tanpa memerhatikan aspek sejarah dan kultur, batas negara sengketa wilayah perbatas Cina dan India menjadi striking point. Pada Mei 2020 silam, terjadi pertempuran kecil antara militer China dan India di lokasi pembangunan infrastruktur China di perbatasan Lembah Galwan. Pemerintah India mengerahkan pasukan militernya ke Line of Control (LAC) di Ladakh Timur dekat perbatasan antara India dan China, Lembah Galwan.

Menurut Yudi, hal ini disebabkan karena adanya ketidaksepakatan perbatasan antara Cina dan India. Kedua negara tidak mempunyai persepsi yang sama atas perbatasan. LAC antara India dan Cina sulit dipahami karena wilayahnya adalah dataran tinggi Himalaya yang lingkungannya sangat opresif terutama ketika musim dingin.

Melalui tiga pemaparan materi selama satu setengah jam tersebut, diskusi Bulanan DIHI yang dihadiri 46 audiens pun ditutup dengan sesi tanya jawab. Serial Diskusi Bulanan DIHI juga dapat diakses melalui kanal Youtube HI UGM serta informasi menarik lainnya melalui Instagram @hi.ugm. (/Afn)