Diskusi IIS; Perubahan Iklim dan Langkah Sederhana Mitigasinya di Rumah

Yogyakarta, 25 September 2019—Sebagai permasalahan global, perubahan iklim dan langkah-langkah penyelesaiannya tidak pernah berhenti diperbincangkan. Dalam diskusi bulanannya, Institute of International Studies (IIS) menghadirkan Suryakanta dengan diskusi buku “Climate Leviathan: A Political Theory of Our Planetary Future” dan lokakarya pengolahan sampah rumah tangga rabu silam.

Bertempat di Ruang Rapat IIS BA 503 Fisipol, diskusi ini dipantik oleh Raditya Bomantara dan Michael Raffy selaku peneliti IIS. Diskusi yang membahas mengenai buku karya Geoff Mann dan Joel Wainwright ini berusaha membicarakan mengenai tantangan perubahan iklim yang semakin intensif dan gagalnya negara-negara kapitalis dalam menyelesaikan permasalahan iklim.

“Dalam buku ini dijelaskan bahwa sistem dari negara tidaklah cukup untuk melawan dampak dari perubahan iklim, tapi juga harus terus dilakukan peningkatan kesadaran di ranah masyarakat atas situasi yang sudah genting,” kata Raditya. Penulis kemudian mengenalkan empat sistem dalam buku tersebut, yakni; climate leviathan, climate mou, climate, behemoth, dan climate x.

Sistem pertama, climate leviathan, merupakan entitas yang bentuknya tidak lagi terkekang dalam negara. Langkah-langkah adaptasi dan mitigasi negara dalam mengatasi perubahan iklim bisa dikoordinasikan dan diatur oleh ratifikasi internasional. Sistem ini merupakan sistem yang sedang berkembang di dunia.

“Sayangnya, sistem ini cenderung berpihak pada negara-negara maju di utara. Program yang diinisasi negara maju menjadikan negara berkembang hanya menjadi subjek. Ini menjadi dilematis karena negara berkembang seolah disalahkan karena pembuangan emisi gas rumah kacanya padahal ini adalah hasil revolusi industri yang dibawa oleh negara maju,” kata Raditya.

Jika climate leviathan berjalan dalam rangka liberal kapitalistik dan dianggap membuat skema pasar yang menguntungkan negara maju, konsep climate mou menjadikan negara sebagai titik sentral dari perubahan iklim. Konsep ini menggunakan paham sosialis dimana negara menjadi tombak utama yang mempelopori perubahan iklim di negaranya sendiri.

Selanjutnya, ada climate behemoth yang datang dari pihak oligarki. Konsep ini dimotori oleh para pemodal atau investor yang menentang perubahan iklim karena mengancam perekonomian mereka. “Contohnya adalah perusahaan minyak atau perusahaan sawit. Di sini para pemodal memiliki aliansi yang jelas dengan kelompok buruh dan petani untuk melawan perubahan iklim,” kata Michael.

Terakhir, ada climate x, yang menjadi solusi dari masalah climate leviathan. Climate x merupakan upaya yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Dalam konsep ini, semua orang adalah agent of change dari perubahan iklim. Climate leviathan seolah menentukan siapa yang boleh selamat dan tidak, padahal, negara yang lebih dominan menyebabkan perubahan iklim adalah negara-negara di utara bukan selatan. Tetapi, negara-negara maju di utara dapat selamat dengan mudah karena memiliki sumber daya dan infrastruktur.

“Pada hakekatnya, negara maju seharusnya yang memberikan bantuan dana ke negara berkembang. Tapi hingga saat ini, negara berkembang harus memikirkan sendiri bagaimana caranya agar mendapatkan dana dan juga membuat kebijakan mengenai perubahan iklim yang sesuai dengan negara mereka,” kata Michael. Climate x mengenalkan sistem bottom-up. Masyarakat umum tidak hanya dapat mengandalkan tiga hegemoni sebelumnya tetapi juga dianggap sebagai faktor penting yang turut berperan dalam mitigasi perubahan iklim.

Sistem ini dianggap menjadi solusi karena yang paling terdampak dari perubahan iklim adalah masyarakat marjinal yang tidak memiliki uang dan teknologi dalam menghadapi ini. Contohnya adalah petani atau masyarakat adat. Climate x menganggap siapapun dapat bergerak dan bekerja bersama untuk mitigasi perubahan iklim dengan cara yang paling sederhana karena manusia memiliki naluri untuk menjaga alam.

Raditya mengatakan terdapat tiga hal yang dapat kita lakukan. Pertama adalah adaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim. Kedua mitigasi, yakni berusaha mengurangi dampak dari perubahan iklim. Dan ketiga yakni suffer, ketika kita tidak bisa melakukan dua sebelumnya, kita lah yang akan menderita.

Sesi kedua dalam diskusi ini dilanjutkan dengan lokakarya pengolahan sampah rumah tangga dengan metode ember tumpuk menjadi kompos. Lokakarya ini dipandu oleh Nasih Widya Yuwono selaku dosen Fakultas Pertanian UGM. Puluhan peserta diskusi diajak untuk praktik cara mengolah sampah rumah tangga dan memilahnya hingga dapat menjadi kompos.

“Inti dari acara ini sebenarnya adalah lokakaryanya untuk meningkatkan kesadaran bahwa kita bisa mengatasi perubahan iklim sebagai individu. Harapannya, langkah-langkah kecil seperti ini dapat menjadi lebih besar dengan semakin berkurangnya sampah dari lingkungan sekitar kita,” kata Michael. (/hsn).