
Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP) FISIPOL UGM menerima kunjungan studi dari Fakultas Administrasi dan Ilmu Sosial Universitas Bina Taruna (UNBITA) Gorontalo, Selasa (9/7). Kegiatan ini menjadi bagian dari inisiatif kolaboratif antar perguruan tinggi dalam memperluas wawasan akademik, khususnya di bidang kebijakan dan tata kelola transformasi digital yang inklusif di Indonesia.
Dalam kunjungan tersebut, mahasiswa UNBITA mengikuti sesi kuliah pakar yang disampaikan oleh Alvi Syahrina, S.T., M.Sc., dosen DMKP UGM. Mengangkat tema “Kebijakan dan Tata Kelola Transformasi Digital Inklusif di Indonesia,” Alvi mengajak peserta untuk melihat transformasi digital bukan hanya dari sisi teknologi, melainkan juga dari dimensi keadilan sosial, literasi digital, dan potensi eksklusi digital.
“Digitalisasi memang menawarkan berbagai kemudahan, tetapi juga berisiko ‘menyingkirkan’ mereka yang tidak memiliki akses terhadap perangkat, rekening bank, atau bahkan jaringan internet yang layak,” ungkap Alvi.
Alvi menjelaskan bahwa kesenjangan digital di Indonesia merupakan persoalan multidimensi. Akses digital, menurutnya, tidak hanya bergantung pada infrastruktur, tetapi juga melibatkan faktor seperti motivasi individu, kepemilikan perangkat, keterampilan digital, serta kemampuan untuk memilah dan menyaring informasi secara kritis.
“Literasi digital bukan satu jenis. Ada literasi teknis untuk mengoperasikan perangkat, literasi informasi untuk menyaring konten, hingga keterampilan strategis dalam memanfaatkan teknologi demi tujuan pribadi dan sosial,” tambahnya.
Dalam pemaparannya, Alvi juga menyoroti keberadaan digital divide yang berpotensi menciptakan lapisan ketimpangan sosial baru di era digital. Ia menyebutkan munculnya kelompok “information rich” yang memiliki akses informasi berlimpah, berbanding terbalik dengan kelompok lain yang tertinggal secara digital.
Lebih lanjut, dalam konteks kebijakan publik, Alvi menjelaskan bahwa transformasi digital seharusnya dipahami sebagai proses bertahap—mulai dari digitalisasi data, digitalisasi proses layanan, integrasi sistem, hingga otomatisasi pengambilan keputusan. Namun, ia mengingatkan bahwa setiap tahapan memiliki kerentanannya masing-masing.
“Bahkan dalam tahap awal digitalisasi, kita sudah dihadapkan pada tantangan seperti kesalahan data, bias administratif, serta kesenjangan akibat perbedaan kecepatan akses internet,” jelasnya.
Alvi menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam mendorong transformasi digital yang inklusif di Indonesia. Menurutnya, diperlukan sinergi antara seluruh pemangku kepentingan, penguatan infrastruktur, regulasi yang adaptif, serta desain layanan digital yang ramah terhadap kelompok rentan.
Sesi kuliah ditutup dengan diskusi interaktif yang diikuti antusias oleh mahasiswa UNBITA. Beragam pertanyaan diajukan, mulai dari strategi penerapan kebijakan digital di lingkungan kampus, tantangan digitalisasi bagi UMKM, hingga desain layanan digital yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Kunjungan ini menjadi momentum penting dalam memperkuat jejaring akademik antar institusi dan membuka ruang kolaborasi untuk pengembangan pengetahuan kebijakan publik di era digital.
Artikel asli dari DMKP dapat dibaca di sini.