Acara kemudian dilanjutkan dengan seminar bersama tiga narasumber yang sudah banyak berkecimpung di dunia digital sebagai aktivis. Muhammad Raafi, Koordinator Climate Change Rangers Jogja menggambarkan betapa besar potensi dunia digital saat ini untuk membawa perubahan. “Kita melihat adanya potensi karena ruang digital juga menjadi ruang tarik ulur kekuasaan, jadi orang-orang bisa sharing awareness,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa aktivisme digital dapat dilakukan oleh siapa saja baik yang sudah memiliki banyak pengikut maupun yang tidak. Menurutnya, siapapun dapat berkontribusi dan berdampak secara positif di dunia digital. “Dengan adanya dunia digital membuat organisasi kecil dengan resources yang tidak banyak, tetapi bisa membuat dampak yang sama besarnya dengan organisasi-organisasi besar,” terangnya.
Namun, aktivisme digital tidak bersih dari tantangan. Corry Yohana sebagai bagian dari Damai Pangkal Damai percaya bahwa sebagai aktivisme digital berarti harus terus belajar dari berbagai bidang mulai dari teknik marketing, mempelajari algoritma, dan lain sebagainya. “Di playground ini kita sangat bertaruh dengan algoritma yang itu adalah mesin sehingga kita perlu belajar strategi-strategi yang efektif untuk aktivisme digital,” ujarnya.
Dzaky Putra Wirahman, selaku Editor in Chief What is Up Indonesia juga meyakini dunia digital ini mampu didorong bersama untuk kehidupan warga negara yang lebih baik lagi. Ia yakin melalui kemasan aktivisme digital yang tepat untuk karakteristik dan kebutuhan audiens akan mampu menjadi katalisator perubahan. “Melalui ruang digital, terdapat peluang untuk menginfiltrasi kelompok-kelompok yang lebih besar bahkan yang masih apatis,” tutupnya. (/w)