Dr. Strangelove, Screening Film dan Diskusi

Kamis (16/8), Institute of International Studies (IIS) bersama HI CINE UGM sore tadi melakukan screening film dan diskusi sebagai akhir dari rangkaian Pekan Film Tematik “Disarmament On Screen”. Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati 73 tahun tragedi Hirosima dan Nagasaki. Screening tersebut diselenggarakan selama tiga hari, mulai dari hari Selasa dengan film “Barefoot Gen”, hari Rabu dengan film “Grave of the Fireflies”, dan terakhir di hari Kamis dengan film “Dr. Strangelove” yang ditutup dengan diskusi bersama Yunizar Adiputera M.A.

Pemutaran film dimulai pukul 15.20 WIB dan bertempat di BA 201, dimana sebelumnya telah dibuka oleh Alif Alfiandi selaku salah satu staff IIS. Film yang berdurasi sekitar 95 menit itu bercerita mengenai ketegangan Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Dr. Strangelove sendiri merupakan film yang mengemas isu sensitif dan serius dengan genre black comedy satir.

Dalam acara ini, sedikitnya 20 orang datang dan ikut serta dalam diskusi yang dilakukan setelah pemutaran film. Setelah film selesai, Alif menjadi pihak yang membuka sesi diskusi dengan memberi kesempatan bagi para penonton untuk menyampaikan komentar mereka terkait film tersebut. Anindita Paramastri—mahasiswa HI—menyampaikan bahwa yang menjadi ketakutan dalam film ini adalah adanya doomsday machine yang merupakan senjata pemusnah massa. Disebut demikian karena mesin tersebut dirancang dengan sengaja untuk tidak bisa ‘dijinakkan’. Sekalinya mesin itu diaktifkan, senjata nuklir akan segara meluncur dan tidak ada satupun cara yang dapat dilakukan untuk menonaktifkan mesin tersebut. Lingkungan perlombaan senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet disebut sebagai salah satu penyebab yang memicu pembuatan mesin tersebut.

Setelah itu, acara berlanjut ke sesi diskusi yang dipimpin oleh Yunizar Adiputera MA yang akrab disapa Yudi, seorang dosen HI sekaligus salah satu juru kampanye International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN). Yudi membuka sesi diskusinya dengan mengatakan bahwa senjata nuklir adalah senjata yang salah. “By design, senjata ini (nuklir-red) dibuat untuk memusnahkan manusia, bukan untuk memenangkan perang,” katanya. Yudi juga mengatakan bahwa sudah waktunya untuk memusnahkan senjata nuklir sebelum senjata tersebut memusnahkan kita. Nuklir sendiri merupakan senjata yang dirancang untuk menciptakan kerusakan massif dan merupakan kategori senjata yang indiscriminate.

Setelah memberi sedikit penjelasan mengenai nuklir, Yudi juga mengaitkan film dengan apa yang benar-benar terjadi di dunia nyata. “Gambaran orang gila di film ini tadi memang benar-benar ada di dunia nyata,” katanya. Yudi juga mengatakan bahwa orang-orang dibalik kendali peluncuran senjata nuklir adalah orang-orang yang kecanduan. Kecanduan yang dimaksud adalah kecanduan terhadap perang, konflik, dan kekerasan. Melihat situasi sekarang, yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir lingkungan yang bisa menyebabkan pelaku untuk akhirnya benar-benar meluncurkan nuklir. Karena sesuai dengan apa yang dikatakan Yudi, “Tidak ada alasan yang cukup masuk akal untuk kita menerima senjata ini.”

Layaknya sebuah diskusi yang berjalan dua arah, para peserta dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan maupun komentar. Salah seorang dosen HI lainnya yang turut datang mengatakan bahwa yang menarik dari film ini adalah bagaimana si pembuat film berani untuk mengangkat isu yang pada saat itu sangat sensitif dan bahkan menyebut beberapa merk atau perusahaan yang diduga ikut berperan dalam industri nuklir. Menurutnya, pemilihan genre komedi ini dapat diartikan sebagai cara si pembuat film untuk menyampaikan bahwa penggunaan senjata nuklir beserta perlombaan senjata pada saat itu merupakan hal yang konyol.

Di penghujung sesi diskusi, Yudi menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang sampai saat ini belum meratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir. Menurutnya, sikap Indonesia masih terkesan terlalu santai dan tidak melihat isu senjata nuklir sebagai isu yang mendesak. Sebelum menutup sesi diskusi, Alif menampilkan sebuah website yang merupakan salah satu hasil dari ICAN. Website yang diberi nama “Don’t Bank on the Bomb” ini menyediakan laporan mengenai data-data transaksi perusahaan dan bank yang terlibat industri nuklir. Laporan tersebut dibuat dengan tujuan supaya mereka (ICAN) dapat melakukan koordinasi strategi supaya perusahaan dan bank yang terlibat bersedia untuk tidak lagi menginvestasikan uang mereka ke industri nuklir. (/Gj)