Yogyakarta, 1 Oktober 2024–Perkembangan teknologi digital yang kian hari semakin canggih menuntut kerangka kebijakan untuk berkembang lebih adaptif dan solutif pula. Pasalnya, keuntungan yang hadir dari kemajuan teknologi juga dibarengi dengan konsekuensi yang dapat berakibat negatif. Irfan Dwi Putra, Peneliti Center for Digital Society (CfDS) UGM menyampaikan keresahannya terkait salah satu teknologi berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yakni deepfake. “Sudah terdapat banyak kerugian yang diakibatkan oleh deepfake dan melibatkan figur publik. Deepfake banyak disalahgunakan untuk penipuan,” ujar Irfan pada rangkaian hari pertama Digital Society Week (DSW) 2024 yang diselenggarakan oleh CfDS UGM secara daring pada Selasa (1/10).
Menurut Irfan, terdapat tiga pendekatan terhadap mitigasi deepfake; pendekatan teknis; pendekatan edukasi; dan pendekatan hukum. Idealnya, integrasi ketiga pendekatan diperlukan untuk memitigasi bahaya deepfake. Namun, Irfan berpendapat bahwa pendekatan yang paling mendesak untuk diterapkan adalah pendekatan hukum.
Saat ini, telah terdapat beberapa regulasi yang mengakomodir persoalan penyalahgunaan AI. Meskipun demikian, regulasi yang ada masih belum cukup karena sifatnya kuratif atau hanya dapat diaplikasikan apabila terjadi kasus yang merugikan. Menurut Irfan, perlu ada regulasi yang bersifat preventif. “Sebagai contoh, di European Union terdapat disclosure and labeling policy. Deployers dari konten-konten audio visual yang berbasis AI harus menyertakan informasi bahwa konten tersebut dibuat oleh AI,” tukasnya.
Selain Irfan, Jack Linchuan Qiu, Profesor di Nanyang Technological University (NTU), turut hadir dalam diseminasi riset tersebut. Berkaitan dengan penyusunan kebijakan publik soal teknologi digital, Jack menekankan bahwa inovasi harus diseimbangkan dan sejalan dengan kepentingan publik. Aspek-aspek seperti inklusivitas dan dampak sosial juga harus menjadi pertimbangan pembuat kebijakan untuk menangani masalah-masalah sosial seperti kesenjangan digital dan disinformasi. Hal ini juga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan(TPB) ke-9 tentang Industri, Inovasi dan Infrastruktur serta TpB ke-10 tentang Berkurangnya Kesenjangan.
Lebih lanjut, Jack juga menjelaskan bahwa era digital telah menempatkan kita pada persimpangan tiga paradigma besar; liberalisme; realisme; serta konstruktivisme. “Ketiga perspektif ini memberikan wawasan yang berharga untuk memahami bagaimana kebijakan terkait teknologi digital dapat dikembangkan secara holistik dan responsif terhadap perkembangan sosial dan politik,” ujar Jack.