Episode Kedua Centang Biru Kewirausahaan Sosial UGM: Revenue Model Beauty & the Beast

Yogyakarta, 1 Agustus 2020—setelah sukses dengan episode pertamanya, Centang Biru dari Kewirausahaan Sosial UGM kembali hadir dengan mengangkat topik yang lain. Bertajuk “Revenue Model Beauty & the Beast”, episode kedua dari Program Cerita tentang Bisnis dan Insight Terbaru ini menghadirkan Andy Fajar Handika, Founder dari Kulina sekaligus Chief Revenue Officer di Cookpad. Berbeda dari episode pertama yang mana pembicara hadir sendirian, kali ini pembicara ditemani oleh Bayu Dardias, dosen pengampu mata kuliah Kewirausahaan Sosial, sebagai moderator.

Sesuai dengan judulnya, topik utama yang dibicarakan pada episode kedua ini adalah mengenai revenue yang bisa dihasilkan oleh sebuah start-up. Sebelumnya, Andy menjelaskan bahwa ‘revenue’ adalah sumber penghasilan yang mempunyai keberlanjutan, atau biasa disebut dengan sustain. Oleh sebab itu, penghasilan yang didapatkan dari VC atau hadiah lomba start-up tidak dapat dikategorikan sebagai revenue.

Secara garis besar, Andy menjelaskan ada empat jenis revenue yang umum digunakan. Pertama, advertising atau iklan yang penghasilannya didapatkan dari klien yang memasang iklan. Agar revenue model ini dapat bekerja dengan baik, suatu start-up harus memiliki jumlah pengguna atau audiens yang besar terlebih dulu. Sementara itu, untuk start-up yang berbentuk marketplace, revenue didapatkan dari pemberian ‘charge’, seperti transaction fee, premium listing fee, dan 3rd party fee inside platform. Namun, marketplace berbeda dengan commerce yang penghasilannya didapatkan dari keuntungan penjualan.

Terdapat pula revenue yang dihasilkan dari model SaaS, atau software as a service. SaaS ini memiliki tiga bentuk yang dibedakan berdasarkan akses servis yang diberikan, yaitu subscription—semacam Netflix, metered—berdasarkan penggunaan, dan freemium—servis dasar bersifat gratis, tetapi untuk servis premium berbayar. Cookpad sendiri menerapkan model revenue SaaS, dengan bentuk freemium. Di Cookpad, seluruh akses resep diberikan secara gratis dan akan diurutkan berdasarkan kebaruan. Namun, jika menggunakan layanan premium di Cookpad, maka resep akan diurutkan berdasarkan keberhasilan resep yang di-review oleh para pengguna.

Untuk menentukan apakah suatu harga terbilang pas, tidak terlalu mahal tapi tidak terlalu murah, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah melakukan tes. Namun, Andy sendiri mengatakan bahwa penentuan harga terlalu mahal atau terlalu murah itu kurang relevan. “Karena yang dilihat adalah berapa yang bisa kita dapatkan dari satu customer in average selama dia membeli produk kita dibanding berapa biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu customer. Selama hasil yang kita dapatkan lebih besar, itu tidak masalah,” tambah Andy.

Menanggapi pertanyaan peserta, Andy menjelaskan bahwa sangat mungkin untuk suatu start-up menggunakan beberapa model revenue sekaligus. Spotify, contohnya. Ketika pengguna tidak berlangganan untuk layanan premium, mereka mendapatkan penghasilan dari iklan. Namun, ketika iklan dihapuskan, Spotify mendapatkan penghasilan dari biaya premium pengguna.

Sebelum akhirnya suatu start-up dapat mulai menerapkan suatu model revenue, yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah network effect—pertumbuhan dari pengguna start-up. Hal ini menjadi penting sebab suatu start-up memerlukan traffic untuk bisa menghasilkan revenue, dan network effect penting untuk melihat traffic tersebut.

“Sebaiknya revenue dan business model dipikirkan dari awal membuat start-up. Ditentukan dari awal nanti mau mencari penghasilan gimana. Jangan bikin dulu baru bingung mau monetisasi seperti apa,” pesan Andy menutup siaran langsung pada pukul 16.10 WIB. Tayangan ulang episode kedua Centang Biru dapat ditonton di kanal Youtube Kewirausahaan Sosial UGM. (/hfz)