Fisipol Corner UGM Angkat Isu Buruh dalam Bedah Buku bersama Sejumlah Pakar

Yogyakarta, 15 Januari 2025—Menilik gerakan organisasi buruh di Indonesia, Fisipol Corner Universitas Gadjah Mada menggelar sesi bedah buku “Buruh dan Negara di Indonesia” dan “Buruh Menulis 3: Berpencar, Bergerak” pada Rabu (15/1). Kedua buku ini berisi refleksi pengalaman-pengalaman buruh yang dikemas dalam sejarah sehingga menghasilkan gambaran situasi ekonomi politik dari waktu ke waktu.

Vedi R. Hadiz, penulis buku Buruh dan Negara di Indonesia menyatakan bahwa kondisi kultur sistem fundamental pemerintah saat ini tidak jauh beda dengan orde baru. Berawal dari pertanyaan mengapa suara buruh masih lemah, padahal demokratisasi telah berjalan pasca reformasi, Vedi beranggapan bahwa kondisi ini disebabkan situasi kompleks dari pemerintah. “Meskipun pada saat orde baru, institusi dan pemerintahnya dihancurkan, tapi relasi kuasanya tetap berjalan sampai sekarang,” terang Vedi.

Menurut Vedi, pemerintah dalam upayanya untuk mengendalikan masyarakat adalah dengan membentuk badan atau institusi yang mengatur setiap golongan masyarakat. Keberadaan institusi ini tidak dijadikan sebagai wadah keterwakilan rakyat, melainkan upaya opresi. Hal ini banyak ditemui dalam kasus-kasus yang melibatkan organisasi dan elemen masyarakat itu sendiri.

“Bisa kita lihat dari contoh organisasi keagamaan atau ormas lainnya. Ideologi Pancasila yang sangat konservatif. Kita didoktrin bahwa jika melakukan radikalisme atau pergerakan itu tidak pancasilais,” papar Vedi. Paham tersebut menyebabkan suara masyarakat ditekan oleh institusi, sekaligus ideologi. Pada akhirnya, bahkan untuk menyuarakan hak-hak masyarakat—dalam hal ini buruh, akan semakin sulit karena pemikiran tersebut berusaha dilemahkan.

Sejalan dengan itu, Hari Nugroho, Pakar politik Universitas Indonesia memberikan gambaran dari segi jalan cerita yang dipotret dalam buku Buruh Menulis 3: Berpencar, Bergerak. Buku ini menceritakan serangkaian pengalaman buruh dari sudut pandang pribadi, bagaimana buruh terdampak oleh kondisi sosial, ekonomi, bahkan politik pemerintah. Contohnya, seorang buruh yang tidak memiliki perlindungan terhadap hak-hak pekerjanya akan mudah dikendalikan oleh kondisi pasar.

“Dalam buku diceritakan ketika kondisi pasar naik, banyak permintaan, perusahaan akan membuat target. Tentunya buruh harus bekerja lebih keras, ini yang saya perhatikan menarik karena menggambarkan kapitalisme pasca reformasi,” terang Nugroho. Ia menyebut ada kaitan erat antara kekerasan verbal dengan bentuk kontrol dari rezim yang berkuasa.

Salah satu kutipan menarik, disampaikan Nugroho, adalah kalimat yang menyatakan “Saya seperti dilahirkan untuk melayani mesin”. Kalimat tersebut dianggap menjadi gambaran keras bagaimana kapitalisme mengikat dan memberikan kekuatan opresi yang luar biasa pada buruh. “Walaupun mencakup skala mikro, tapi konteks perburuhan lebih fleksibel. Ini adalah generasi yang lahir dari rezim industrialisasi yang beragam,” tutur Nugroho.

Perwakilan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Irsad Ade Irawan turut memberikan pandangan dari segi lapangan. Faktanya, suara partai buruh saat ini masih sangat kecil, yakni berada di presentase 0,6% dari total suara masyarakat. Ini memberikan realita bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki cara pandang sama dengan partai buruh. Meskipun begitu, presentase keanggotaannya terus naik dari waktu ke waktu.

Dijelaskan Irsad, selama 2016-2018, jumlah konfederasi  partai buruh naik menjadi 2 juta. Lalu pada 2020, naik hingga 3 juta. Tak hanya itu, ada tren yang berkembang dari tuntutan atau advokasi yang dibawa oleh partai buruh. Misalnya, dulu buruh hanya memperjuangkan kenaikan gaji atau jam bekerja, namun sekarang isu yang diangkat semakin meluas. Bahkan, isu-isu nasional seperti kenaikan BBM, pajak, gender, kebijakan kesehatan, sampai politik juga turut diangkat.

“Tujuannya saat ini bukan lagi memperjuangkan tuntutan. Tapi bagaimana partai buruh bisa mendapat suara dari masyarakat, hingga bisa eligible untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai pemimpin negara,” ujar Irsad. Diskusi isu gerakan organisasi buruh ini secara khusus menggambarkan persoalan tentang kesejahteraan kelompok masyarakat. Fisipol Corner menjadi bentuk kontribusi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM untuk mengelaborasi isu buruh agar mendapat tempat dalam diskursus masyarakat. (/tsy)