IIS UGM dan Kemlu RI Selenggarakan Forum Membahas Diplomasi Kesehatan

Yogyakarta, 16 Maret 2023─Institute of International Studies (IIS) Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada bersama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) menyelenggarakan Sosialisasi Reviu Kebijakan Mandiri bertajuk “Diplomasi Kesehatan Indonesia di Kawasan Amerika dan Eropa: Amerika Serikat, Belanda, Jerman, dan Swiss”. Acara tersebut diselenggarakan secara luring pada Kamis (16/3) di Auditorium Mandiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Acara ini menghadirkan Spica Tutuhatunewa, Kepala Pusat SKK Amerika dan Eropa Kemlu RI untuk menyampaikan hasil reviu kebijakan; Lukman-nul Hakim, Direktur IIS UGM; Muhadi Sugiono, Dosen dan Peneliti Senior HI UGM; Yodi Mahendradhata, Dekan FKKMK; dan Rahman Roestan, Direktur Operasi Bio Farma; serta dimoderatori oleh Zakaria Al Anshori, Diplomat Madya Kemlu RI.

Topik diplomasi kesehatan diangkat mengingat besarnya peran hal tersebut dalam penanganan pandemi Covid-19, terutama mengenai hal yang berkaitan dengan hubungan antarnegara, seperti penyediaan vaksin. “Kita melihat bahwa negara-negara di kawasan Amerika dan Eropa memiliki keunggulan di bidang kesehatan dan farmasi, serta dapat menjadi mitra kita untuk kesiapan di masa depan,” jelas Spica. Empat negara yang dilihat oleh Kemenlu adalah Amerika Serikat (AS), Jerman, Belanda, dan Swiss. Hal tersebut didasarkan oleh 3 hal; potensi, posibilitas tantangan, serta strategi yang tepat. Selain itu, Spica juga menyampaikan peluang-peluang lainnya pada tingkat nasional, regional, bilateral, hingga multilateral.

Muhadi mengapresiasi dan menilai bahwa kajian tersebut bersifat komprehensif dan memiliki basis yang kuat. Selain itu, metode analisis SWOT dan PESTLE yang digunakan juga mampu memetakan peluang serta tantangan sekaligus merancang strategi yang efektif. Menurutnya, sentralitas dan pentingnya isu kesehatan dewasa ini mengharuskan kita melihat diplomasi kesehatan setara dengan high politic. Berdasarkan perspektif tersebut, Muhadi menilai bahwa pandemi menghasilkan lalu lintas diplomasi yang sangat intensif.

“Persoalannya adalah diplomasi yang berkembang selama pandemi ini memiliki dua tujuan,” ungkap Muhadi.

Menurut Muhadi, diplomasi pada masa pandemi bertujuan untuk membangun solidaritas dan kesetaraan, tetapi secara simultan juga dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Hal tersebut berkaitan dengan tanggapan Muhadi terhadap kajian Kemenlu, yaitu bahwa strategi yang dilakukan seharusnya mengarah pada diplomasi struktural dengan jangka waktu panjang alih-alih diplomasi transaksional berjangka pendek. Selain itu, Muhadi juga menilai bahwa kajian Kemenlu cenderung berdasar pada asumsi bahwa diplomasi kesehatan Indonesia berada dalam konteks politik global yang ‘normal’. Padahal, pandemi Covid-19 terjadi pada saat situasi politik global yang sangat kompetitif.

“Saya ingin melihat lebih detail bagaimana kajian diplomasi kesehatan ini juga dilihat dalam konteks besar yang mungkin sangat memengaruhi diplomasi kesehatan kita saat ini,” ungkap Muhadi sekaligus menutup penyampaiannya. (/tt)