Yogyakarta, 6 Mei 2024–Dunia tengah mengalami tiga krisis planet atau triple planetary crisis yang meliputi perubahan iklim, polusi, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyikapi isu tersebut, salah satunya dengan mengadopsi prinsip ekonomi sirkular dalam aktivitas bisnis dan juga sehari-hari. Meskipun demikian, pemahaman dan implementasi ekonomi sirkular masih terbatas pada lingkup bisnis saja. Merespons hal tersebut, Institute of International Studies (IIS) UGM bersama dengan the Partnership for Action on Green Economy (PAGE) melalui UNDP Indonesia dan Bappenas menyelenggarakan lokakarya bertajuk Mainstreaming Circular Economy for Transformative and Sustainable Change sebagai upaya mengarusutamakan prinsip ekonomi sirkular hingga level akar rumput pada Senin (6/5) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM.
Asri Hadiyanti Giastuti, Staf Perencana Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas yang hadir mewakili Priyanto Rahmatullah, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, menjelaskan bahwa Bappenas tengah berupaya menyusun peta jalan dan rencana aksi ekonomi sirkular melalui berbagai kebijakan, inisiatif, dan praktik yang konkrit. Sebagai contoh, dalam perencanaan nasional, Bappenas telah mendorong aspek keberlanjutan dalam pembangunan di Indonesia melalui pembangunan rendah karbon serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-11 tentang kota-kota berkelanjutan dan TPB ke-13 tentang perubahan iklim. Meskipun demikian, upaya tersebut bukan tanpa tantangan. Terbatasnya pendanaan, belum adanya regulasi khusus terkait ekonomi sirkular, kurang memadainya infrastruktur, hingga isu tata kelola dan kelembagaan masih menjadi tantangan tersendiri.
“Oleh karena itu, dukungan finansial, kebijakan, pengembangan kapasitas, dan kolaborasi sangat diperlukan. Kolaborasi aspek sosial dan teknis untuk mainstreaming soal prinsip ini hingga semuanya punya common ground soal ekonomi sirkular sangat penting,” jelas Asri.
Selain dari pemerintah, acara ini juga menghadirkan akademisi, Suci Lestari Yuana, Peneliti IIS UGM. Menurut Suci, salah satu kunci dalam mengarusutamakan ekonomi sirkular adalah dengan memproduksi pengetahuan yang berangkat dari pengetahuan-pengetahuan yang bersifat lokal pula. Suci bersama dengan IIS UGM telah menginisiasi konsep ‘mundane’ circular economy policy untuk dapat menerjemahkan dan menjembatani prinsip-prinsip ekonomi sirkular menjadi kegiatan sehari-hari.
“Praktik-praktik ekonomi sirkular, seperti mengubah barang bekas menjadi barang yang masih bisa dipakai, sebetulnya sudah banyak diterapkan. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa hal tersebut merupakan penerapan ekonomi sirkular. Konsep ekonomi sirkular ini perlu ada yang menjembatani,” ungkap Suci.
Lebih lanjut, menurut Junita Widiati Arfani, penggagas Indonesia Green Principal Award (IGRA), implementasi ekonomi sirkular paling efektif apabila dilakukan pada level akar rumput. “Mengubah mindset itu perlu dilakukan secara lokal, salah satunya melalui sekolah,” ucap Junita. Menurutnya, sekolah menjadi lembaga yang strategis dan potensial karena apa yang dipelajari siswa di sekolah umumnya akan tersampaikan pula kepada orang tua mereka. Kekuatan tersebutlah yang ingin dimanfaatkan oleh IGRA untuk mengarusutamakan prinsip ekonomi sirkular.
Prinsip ekonomi sirkular juga sangat mungkin diterapkan oleh pelaku bisnis, seperti yang dilakukan oleh Suharji Gasali melalui PT. Amandina Bima Nusantara, perusahaan penyimpanan makanan yang berasal dari daur ulang PET. Tujuan PT. ABM adalah untuk menjadi solusi dari isu persampahan yang ada dengan membuat kemasan plastik yang dapat dipakai terus menerus tanpa membuat masalah di lingkungan. “Jejak karbon yang dihasilkan apabila memproduksi (kemasan) secara terus menerus adalah 2,7 kg. Sedangkan, kalau mendaur ulang (jejak karbon) yang dihasilkan hanya 1 kg,”, tukas Suharji.
Terakhir, diskusi juga dilengkapi oleh kehadiran Tim Ngupahan, finalis National Youth Ideathon FLW/UNPAGE/UNDP, yang berbagi cerita mengenai inovasinya dalam menangani sampah makanan. Menurut Tim Ngupahan, 37% dari sampah makanan sebetulnya masih dapat dikonsumsi lagi. Berangkat dari hal tersebut, mereka mengembangkan bank kompos untuk menjadi salah satu enabler dalam melaksanakan sistem pangan yang berkelanjutan dan sirkular. Upaya yang dilakukan oleh Tim Ngupahan serta PT. ABM merupakan salah satu penerapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-12 tentang konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.