Yogyakarta, 14 September 2024─Gerakan #KawalPutusanMK yang tersebar secara masif di media sosial menjadi bentuk aktivisme digital yang berpotensi mendorong perubahan sosial. Fenomena digital yang terjadi beberapa minggu terakhir ini menunjukkan kekuatan kolaboratif, baik dari para aktivis dan jurnalis untuk mengawal prinsip demokrasi.
Guna mengawal aktivisme lebih lanjut, Magister Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM menyelenggarakan diskusi dengan mengundang Firda Ainun sebagai pegiat isu gender dan demokrasi, juga Raymundus Rikang sebagai praktisi jurnalis di Tempo.
Penggunaan media digital dinilai menjadi platform yang kuat dalam menyalurkan aspirasi publik. Firda Ainun membuka diskusi dengan menyoroti bahwa dasar dari aktivisme atau penyaluran aspirasi berangkat dari adanya kepentingan yang berlandaskan moral. Pergerakan yang berupaya menciptakan perubahan sosial ini dilakukan dengan memanfaatkan media sosial sehingga mampu mengumpulkan massa dalam waktu yang relatif lebih cepat.
“Dulu untuk mengumpulkan orang dibutuhkan waktu berhari-hari, sekarang melalui poster atau unggahan tweet di media sosial dalam beberapa menit sudah jutaan yang nge-share sehingga lebih mudah melakukan gerakan-gerakan politik,” tambah Firda Ainun dalam pemaparannya.
Dinamika arus informasi yang masif ini berpotensi sebagai alat kontrol sosial untuk menciptakan gerakan digital yang inklusif. Melalui ruang digital publik kelompok pergerakan melakukan cara taktis dalam menarik perhatian publik sehingga lebih efektif memunculkan agitasi untuk propaganda dan kampanye.
Raymundus Rikang turut memperkaya sesi diskusi dengan menyampaikan peran jurnalis dalam mengawal aktivisme digital. Menurutnya ada banyak fenomena digital yang dilakukan oleh para aktivis, dalam membuka skandal pemerintahan, yang berlandaskan pada praktik-praktik jurnalistik.
Akan tetapi, ketika dihadapkan pada standar kerja jurnalistik seperti kode etik, informasi tersebut banyak dilepas langsung untuk konsumsi publik. Ini juga yang menimbulkan tantangan distrubsi informasi. Oleh karena itu, informasi-informasi dari aktivisme digital ini menjadi bahan atau modal bagi para jurnalis untuk mengungkap lebih jauh.
“Jurnalisme dan aktivisme sangat mungkin berkolaborasi tanpa meninggalkan ke-khas-an masing-masing. Seperti pada aspek mobilisasi pengaruh, informasi yang beredar di media sosial akan lebih mudah naik ketika itu diliput oleh organisasi media. Maka, tugas jurnalisd dalam peluang kurasi adalah mengolah informasi tersebut dengan standar etik jurnalistik,” jelas Rikang.
Kolaborasi ini memperkuat gerakan dengan memberikan legitimasi pada informasi yang disebarkan oleh aktivis. Kemitraan yang dilakukan oleh masyarakat sipil ini mendorong inklusivitas karena informasi yang lebih terkurasi dan akurat dapat terdistribusi lebih merata. Dengan demikian, kolaborasi ini tidak hanya memperluas jangkauan gerakan tetapi juga meningkatkan kualitas diskursus publik, menjadikannya lebih inklusif dan berdampak jangka panjang. (/noor)