Yogyakarta, 2 Oktober 2025—Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL UGM) menyelenggarakan workshop bertajuk “Contesting Hegemony: Labour, Ideology, and the Limits of Resistance in Post-Authoritarian Indonesia” di Auditorium lantai 4 FISIPOL UGM. Acara ini menghadirkan empat pembicara: Vedi Hadiz (University of Melbourne), Hari Nugroho (Universitas Indonesia), Diatyaka Yasih (Universitas Indonesia), dan Muhtar Habibi (Universitas Gadjah Mada). Diskusi ini mengulas bagaimana kekuasaan, ideologi, dan kelas pekerja berinteraksi dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia pasca-Orde Baru, serta sejauh mana strategi bertahan masyarakat dapat berkembang menjadi bentuk perlawanan terhadap dominasi yang hegemonik.
Dari pertanyaan pemantik “bisakah strategi bertahan (survival strategies) berkembang menjadi strategi yang menantang hegemoni (contesting domination)?” ini, para pembicara menyoroti bahwa masyarakat pasca-otoritarian sering kali masih hidup di bawah struktur kekuasaan neoliberal yang membatasi ruang gerak mereka. Upaya bertahan hidup di tengah sistem ekonomi-politik yang menindas sering kali tidak bertransformasi menjadi perlawanan kolektif, melainkan berhenti pada tingkat adaptasi.
Sebagaimana dalam pemaparan Hari Nugroho mengatakan perlu adanya common sense dan critical consciousness untuk merespons situasi sosial politik saat ini. Menurutnya, moralitas saleh (pious morality) sering kali menaturalisasi pengorbanan, menjadikan ketimpangan tampak sah dan bernilai moral.
Namun, di tengah situasi tersebut, fragmen-fragmen kritik seperti protes, kebanggaan, atau negosiasi sosial bisa menumbuhkan kesadaran kritis. Meski begitu, kesadaran ini masih rapuh, karena sering kali terserap kembali ke dalam kerangka moral dominan. Dengan kata lain, resistensi terhadap hegemoni kerap terbentur oleh kekuatan ideologi yang melekat dalam kehidupan sosial dan religius masyarakat Indonesia.
Secara keseluruhan, workshop “Contesting Hegemony: Labour, Ideology, and the Limits of Resistance in Post-Authoritarian Indonesia” turut mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), terutama SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi serta SDG 10: Pengurangan Ketimpangan. Melalui diskusi lintas akademisi ini, peserta diajak untuk melihat bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya soal peningkatan produktivitas, tetapi juga tentang keadilan struktural, perlindungan hak-hak pekerja, dan kesetaraan dalam distribusi kekuasaan serta sumber daya.
Dengan mengkritisi ideologi dominan, praktik hukum yang timpang, dan fragmentasi dalam gerakan buruh, acara ini mendorong lahirnya kesadaran kritis dan solidaritas baru di antara kelas pekerja—dua hal yang menjadi fondasi penting bagi terciptanya masyarakat inklusif dan berkelanjutan. Workshop ini membuktikan bahwa upaya mencapai SDGs tidak hanya dilakukan melalui kebijakan ekonomi, tetapi juga lewat ruang intelektual yang menghidupkan kembali perdebatan tentang keadilan sosial dan martabat pekerja di Indonesia kontemporer. (/noor)