Kontras Undangan Pernikahan di Rural dan Urban, Mahasiswa Fisipol Mengkaji Perbedaan Budaya

Yogyakarta, 18 Juli 2024─Perbedaan mencolok dalam gaya undangan hajatan antara daerah rural dan urban tidak hanya mencerminkan perbedaan budaya, tetapi juga memperlihatkan adaptasi terhadap perubahan sosial dan teknologi. Undangan hajatan di daerah rural mulai dari khitanan, puputan kelahiran bayi, hingga hajatan pernikahan pernikahan lazim dilengkapi dengan punjungan yang kental dengan kearifan lokal yang sederhana, tetapi penuh dengan makna. Berbeda halnya dengan undangan pernikahan di perkotaan, sifatnya lebih modern dan menekankan pada efisiensi. 

Menengok perbedaan tersebut, kelima mahasiswa UGM melakukan penelitian untuk melihat perbedaan sensitivitas budaya masyarakat rural dan urban dalam memaknai punjungan. Kelima mahasiswa tersebut adalah Galuh Lintang Larasati (Fisipol), Upik Maulia (Fisipol), Pinky Astri Astuti (Fisipol), Rehuella Sarlotha Modjo (FIB), Lola Purnama Sari (FIB). Tim yang dibimbing oleh Pinurba Parama Pratiyudha, S.Sos., M.A., ini turut berpartisipasi dalam Pekan Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) yang berhasil mendapatkan hibah pendanaan dari Kemendikbud Ristek tahun 2024.

Penelitian yang sudah dilakukan sejak 16 Mei 2024 ini mengambil lokasi di Kabupaten Purworejo, tepatnya di Desa Dudukulon sebagai representasi dari daerah rural dan di Desa Pangenjurutengah sebagai representasi daerah urban. “Tradisi punjungan di Purworejo masih sering dilakukan, terlebih daerah ini terletak di tengah dua kebudayaan besar, yaitu Ngayogyakarta Hardiningrat dan Banyumasan sehingga menarik melihat variasi budaya disini,” ujar Lintang. 

Penelitian yang sudah dilakukan selama kurang lebih tiga bulan, ditemukan beberapa perbedaan dari tradisi punjungan di daerah rural dan urban. Di daerah rural, tradisi punjungan masih eksis karena didukung oleh solidaritas masyarakat yang kuat melalui rewang (membantu). “Punjungan di daerah rural biasanya disiapkan bersama melalui rewang dan memiliki komponen lengkap dan pakem dengan adat Jawa”, ujar Lintang. 

Dalam tradisi punjungan di daerah rural sendiri, masih banyak tradisi pendukung yang selalu dijaga. “Selain punjungan, undangan pernikahan juga diiringi dengan tradisi lain yang masih kental, seperti ngayu, nempur lor kidul, serta aturan rewang,” ungkap Pinky. 

Upik juga menyebut bahwa punjungan dan tradisi pendamping yang dilakukan oleh masyarakat rural itu sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa ada kepercayaan terhadap mitos tertentu. “Mereka (masyarakat rural) melakukan punjungan dan tradisi pendamping itu selain sebagai bentuk rasa syukur, juga sebagai penolak bala agar acara berjalan dengan lancar,” ceritanya.

Lain halnya dengan daerah urban, punjungan untuk undangan pernikahan tidak terikat kuat dengan adat tradisi. Tradisi pendamping punjungan yang masih biasa dilakukan hanya selamatan. Selain itu, punjungan biasanya dipesankan melalui catering tanpa ada tetangga yang rewang. “Punjungan untuk undangan pernikahan di urban tidak disertai dengan pakem adat yang kuat dan lebih menekankan pada praktis dan efisiensi,” ungkap Pinky. 

Lintang juga menyampaikan bahwa peran masyarakat sekitar di daerah urban biasanya hanya selama penyaluran punjungan ke tetangga terdekat. “Karena punjungan sudah catering, hanya keluarga atau masyarakat terdekat yang kemudian membantu persiapan dan penyaluran punjungan,” ujarnya. 

Terakhir, Lintang menyampaikan bahwa terdapat kontras adaptasi budaya punjungan sebagai undangan pernikahan di urban dan rural. Kedua daerah ini tetap melakukan punjungan, tetapi masing-masing memiliki cara sendiri untuk beradaptasi dengan perkembangan peradaban. “Kedua masyarakat ini sudah berada di zaman modern, hanya saja keduanya melestarikan budaya masing-masing dengan caranya masing-masing untuk hidup berdampingan bersama dengan kemajuan zaman,” ungkapnya.

Cerita perjalanan penelitian ini dapat disimak lebih lanjut di akun instagram @pkmrsh.punjunganpwr. (/wn)