Masih Banyak PR untuk Wujudkan Representasi Disabilitas yang Inklusif dalam Media

Yogyakarta, 22 November 2023─Media memiliki peran sentral dalam mempengaruhi dan membentuk persepsi seseorang terhadap dunia dan hal-hal yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi media untuk memberikan porsi representasi yang adil dan inklusif terhadap berbagai isu maupun pihak, termasuk mengenai isu disabilitas. Merespons pentingnya berdiskusi mengenai persoalan media dan kaitannya dengan isu disabilitas, topik tersebut turut diangkat dalam salah satu sesi panel International Conference on Disability Rights (ICDR) yang diadakan pada Rabu (22/11) di Fisipol UGM. Dipandu oleh Budi Irawanto, Dosen Fisipol UGM, sesi panel 1D dengan tema “Communication in Media” tersebut diikuti oleh lima presenter yang mewakili berbagai universitas dan organisasi. 

Dalam salah satu sesi, M Iqbal Sultan memaparkan hasil penelitiannya yang bertajuk “Voices Unheard: Inclusive Journalism in Indonesian Election Reporting”. Menurut temuannya, perhatian media terhadap penyandang disabilitas dan keterlibatan mereka dalam proses Pemilu di Indonesia masih belum cukup. Hal tersebut terlihat dari jumlah berita mengenai isu tersebut yang masih minim selama masa tahap-tahap penting dalam Pemilu, yaitu Desember 2022 hingga Oktober 2023. 

Lebih lanjut, alih-alih menjadikan penyandang disabilitas sebagai narasumber utama dalam pemberitaan, sumber-sumber dari pemerintah justru memiliki porsi paling banyak sebagai narasumber berita. Hal tersebut tentu mempengaruhi perspektif atau bingkai yang digunakan dalam berita. “Meskipun demikian, secara umum, pemberitaan mengenai isu disabilitas selama periode tersebut memiliki tone yang positif. Terminologi-terminologi yang digunakan oleh jurnalis sudah tepat,” jelas Iqbal. 

Di sisi lain, Nabila Ikrima menyampaikan hasil penelitiannya mengenai representasi dalam film bertajuk “Jingga” yang bercerita mengenai seorang penyandang disabilitas yang memiliki talenta dalam bermain musik. “Film tersebut tidak hanya menggambarkan karakter penyandang disabilitas dengan kekuatannya sebagai sesuatu yang positif, tetapi juga menggambahwa bahwa terdapat pula praktik-praktik resistensi dalam ruang-ruang marjinal,” tukas Nabila. Namun, masih terdapat beberapa celah dalam film Jingga yang memberi kesan bahwa disabilitas merupakan suatu kondisi yang tidak dapat diterima dan harus dieliminasi. Selain itu, elemen-elemen yang menggambarkan dehumanisasi dan alienasi juga masih dapat dirasakan melalui film tersebut. 

Tak hanya media massa dan film, representasi penyandang disabilitas melalui media sosial juga penting untuk diteliti mengingat tingkat pengguna media sosial di Indonesia sangat tinggi. Dengan tajuk “Virtual Influencer with Disability: Representation of Inclusion or Exploitation”, Wa Ode Lusianai meneliti mengenai representasi identitas down syndrome melalui Instagram. “Representasi down syndrome melalui akun Instagram influencer KAMI merupakan sebuah paradoks,” ungkap Wa Ode. Di satu sisi, terdapat aspek-aspek memberdayakan dan menguatkan. Namun, representasi yang dilakukan justru memiliki potensi untuk memposisikan mereka sebagai objek terhadap kepentingan politis dan juga komoditas untuk dieksploitasi, terutama untuk kepentingan kapital. 

Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun sudah terdapat upaya-upaya untuk merepresentasikan kelompok disabilitas dalam media, masih terdapat celah yang harus diisi dan dibenahi untuk mewujudkan representasi yang inklusif dalam media.