Yogyakarta, 22 November 2023—Agenda penerapan inklusivitas dirancang dengan melibatkan seluruh elemen, mulai dari masyarakat hingga pemerintah. Desa sebagai satuan unit yang paling dekat dengan masyarakat menduduki posisi krusial untuk membangun komitmen bersama ini. Sayangnya, kultur desa yang mayoritas dibangun oleh budaya konservatif masih belum bisa menerima keberadaan kelompok disabilitas. Stigma negatif, keterbatasan yang tidak diakomodasi, hingga kekerasan masih menjadi persoalan yang membuat kelompok difabel terdiskriminasi.
Melalui diskusi International Conference on Disability Rights (ICDR), panel 1A mengangkat tentang pembangunan desa inklusif. Beberapa narasumber dihadirkan untuk memaparkan kondisi kelompok difabel di pedesaan dan upaya apa yang telah dilakukan. Salah satu program yang digalakkan adalah Strengthening Social Inklusion for Disability Equity and Rights (SOLIDER). Program ini diprakarsai oleh Kuni Fatonah, aktivis yang juga telah merintis Sarana Iklusi dan Gerakan Disabilitas (SIGAB). Forum ini pun berkomitmen untuk membangun inklusivitas mulai di tahap desa.
“Desa atau pemerintahan ini adalah model pemerintahan yang mengakomodasi hak semua orang, tak terkecuali penyandang disabilitas. Jadi dalam desa inklusi itu harus ada pemerintahan desa atau kelurahan yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif, terbuka, menghargai, serta menghilangkan hambatan,” tutur Kuni. Untuk membangun desa inklusi, terdapat sembilan indikator yang tela dirumuskan SIGAB. Keseluruhan indikator tersebut khususnya meliputi aspek aksesibilitas, pendataan kelompok difabel, partisipasi kebijakan, hingga penerimaan masyarakat.
Masyarakat di desa, umumnya masih menganut nilai-nilai dan tradisi turun temurun yang membentuk karakter sosial individunya. Hal ini diakui sangat mempengaruhi tingkat penerimaan masyarakat terhadap kelompok difabel. Menurut Kuni, desa inklusi merupakan manifestasi dari kerja sama dan kolaborasi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang merangkul setiap unsur dari masyarakat. Tak hanya Kuni, kelompok alumni UGM juga mengupayakan beberapa penelitian di daerah pedesaan yang belum memiliki pondasi dasar dalam memenuhi hak-hak disabilitas.
“Kami menemukan bahwa karena sebagian masyarakat desa itu hidup di bawah garis kemiskinan, mereka sangat menjunjung tinggi gotong royong. Jadi siapapun yang tidak bisa berpartisipasi aktif dalam kerja sama, biasanya mendapat perlakuan yang berbeda. Apalagi masyarakat di daerah rural sifatnya tertutup, jadi sulit untuk menerima konsep baru yang berbeda dengan budaya mereka,” ujar Akhyar Rafi’i. Penelitian dilakukan oleh Akhyar dan tim berlokasi di Kabupaten Kurau, Provinsi Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Diketahui bahwa kelompok disabilitas dari desa tersebut mendapat stigmatisasi yang berorientasi pada keterbatasan kemampuan mereka.
“Daerah rural merupakan daerah konservatif memiliki masalah yang sangat rumit. Kesetaraan hanya bisa dicapai jika seluruh elemen masyarakat menerima keberadaan kelompok rentan dan marginal. Riset ini membuktikan bahwa partisipasi masyarakat masih sangat kurang. Dan inilah yang harus kita dorong untuk menciptakan lingkungan inklusif yang berkelanjutan,” ujar Akhyar.
Diskusi ini mendukung SDGs 10 (Berkurangnya Kesenjangan). (/tsy)