Melihat Kerja Sama ASEAN Dalam Merespons Wabah Covid-19

Yogyakarta, 5 Mei 2020– Pandemi global Covid-19 yang menguji kerja sama regional ASEAN dibahas oleh ASEAN Studies Center (ASC) Fisipol UGM yang kembali menyelenggarakan Bincang ASEAN bertajuk “The Past and the Future of ASEAN Health Cooperation” bersama  Ahmad Rizky Mardathillah Umar, seorang kandidat PhD di University of Queensland, Australia.

Membuka diskusi dengan pemetaan respons ASEAN yang kompleks, Umar melihat terdapat respons kebijakan yang tidak merata diantara negara anggota serta tidak adanya informasi tanggapan yang terkoordinasi untuk mengurangi penyebaran Covid-19 secara dini. Respons tersebut pun memunculkan pertanyaan, “Apa yang menjelaskan terbatasnya tanggapan kebijakan ASEAN terhadap Covid-19?  Apa yang diceritakan oleh sejarah mengenai kerja sama kesehatan di ASEAN dan kemungkinannya di masa depan?”

Menggunakan pendekatan historical institutionalism, ada tiga hal yang diperdalam mengenai kerjasama ASEAN. Pertama, norma dan praktik kerja sama ASEAN berkembang dan selalu merespon struktur perubahan dalam  dunia politik. Kedua, adanya path dependence  dimana pola kerja sama masa lalu akan memengaruhi kebijakan saat ini. Ketiga, continuities and change yaitu bagaimana pola tertentu dari kerjasama dapat menopang perubahan dan keberlanjutan. Umar pun menggunakan metode “process-tracing” dari tahun 1976 hingga saat ini melalui analisis data dari dokumen Sekretariat ASEAN dan data relevan lainnya.

Sejarah ASEAN dalam megurus kesehatan pun ditandai sejak tahun 1990-an melalui KTT ASEAN ke-4 di Singapura (1992) mengenai Pencegahan AIDS. Di tahun 2000-an melalui SARS Meeting di Bangkok (2003) serta pada tahun 2010-an melalui Agenda Pembangunan Pasca-2015 ASEAN mengenai integrasi dengan SDGs.

Berdasarkan penelusuran tersebut, Umar berargumen bahwa tanggapan kebijakan ASEAN terhadap Covid-19 yang terbatas merupakan hasil dari empat hal; Pertama,  sejarah panjang ASEAN yang meminggirkan masalah kesehatan. Kedua,  respons yang reaksioner dan tidak berkelanjutan terhadap wabah penyakit di masa lalu. Ketiga, ketergantungan yang berlebihan terhadap pihak “non-interference” dan “health sovereignty”. Keempat, kelembagaan yang lemah dan kurang terkoordinasi.

Maka agenda yang mungkin dilakukan adalah perlunya sistem pengawasan kesehatan kolektif yang semula “Trust-based” menjadi terkordinasi, mendorong kerjasama sektoral dan teknis, memperbanyak dana untuk penelitian dan kerjasama, meekonsiliasi kerjasama kesehatan dengan SDGs , memperbanyak akses kesehatan, mengintegrasikan risiko kesehatan dalam kerjasama pembangunan serta mendorong tanggung jawab sektor swasta untuk bekerjasama dengan pemerintah

“ASEAN yang seringkali bekerjasama di bidang ekonomi, perlu juga tanggap terhadap masalah kesehatan secara kolektif dan komprehensif. Perlu dipahami bahwa Covid-19 bukan hanya bukti kegagalan kordinasi, tapi juga mewaspadai kemungkinan pandemi di masa depan yang mebutuhkan kerjasama,“ tutup Umar. (/Afn)