Membahas Urgensi Pembentukan Pengadilan HAM Melalui Papua Strategic Policy Forum

Yogyakarta, 20 Juli 2020—Rangkaian Papua Strategic Policy Forum #5 kembali hadir dengan diskusi bertajuk  “Urgensi Pembentukan Pengadilan HAM & Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua”  yang diselenggarakan oleh Gugus Tugas Papua UGM dan Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK) Fisipol UGM  secara daring pada Senin silam melalui Zoom dan YouTube.Diawali oleh pemaparan Beka Ulung Hapsara, selaku Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Ia menyatakan bahwa persoalan Papua sangatlah kompleks, bukan hanya soal ketimpangan tapi juga penegakan hukum di Papua. Ia mencatat bahwa hanya ada empat kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang telah diselidiki. Maka dari itu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua perlu segera melakukan penyelidikan. Nantinya KKR juga akan melakukan klarifikasi sejarah Papua, menetapkan langkah rekonsiliasi serta memastikan agar tidak ada pelanggaram HAM lagi di Papua di masa mendatang.

Pembicara kedua, Victor Mambor selaku Jurnalis Senior Papua memaparkan mengenai peran media di tanah Papua. “Sejauh ini peran media dalam penyelesaian konflik belum bisa diwujudkan di Papua. Fungsi media sebagai verifikator, mediator  dan mengawasi penguasa terutama aparat banyak yang belum disiarkan,” ujar Victor. “Hanya sedikit media yang memenuhi standar, masih banyak wartawan yang ‘liar’, memberitakan peristiwa kejadian yang hanya berkaitan dengan ‘pesanan’, tidak cover both sides. Konflik sering direduksi menjadi sebuah peran yang tidak mungkin mencapai titik temu,” jelas Victor.

Menanggapi permasalahan yang dipaparkan oleh kedua pembicara,  Michael Manufandu selaku Duta Besar Senior menyampaikan bahwa ada tiga tawaran untuk menyelesaikan masalah HAM yaitu melalui pendekatan  pembangunan, pendekatan budaya, serta pendekatan rohani. Selain itu,  Latifah Anum Siregar selaku Direktur Aliansi Demokrasi Untuk Papua juga bersepakat mengenai  banyaknya media yang menulis berita semata untuk framing,  “Kita tidak memiliki cukup informasi karena hanya selalu ada satu narasi,” pungkas Latifah.

Latifah pun menyetujui urgensi pembentukan KKR demi memberikan keadilan bagi korban, menghapus impunitas, mengakui kesalahan masa lalu dan menumbuhkan kepercayaan dan masa depan tanpa kekerasan. “Namun sayangnya negara malah ketakutan dan mengambil langkah counter insurgency,” tambah Latifah.

Selanjutnya Peneliti Gugus Tugas Papua, Gabriel Lele menyatakan perlunya peace dividend sebagai titik masuk persoalan Papua. Namun masih ada kekhawatiran pemerintah bahwa adanya pengadilan HAM malah akan memicu masalah baru ketimbang menyelesaikan masalah yang ada karena pasti ada keterlibatan militer dan Polri. Gabriel juga memaparkan mengenai alternatif pendekatan psikososial yang memiliki modal besar di Papua. “Sambil menunggu proses formal mengenai KKR, proses ini bisa dilakukan oleh negara. Kitta butuh topangan lain yaitu aspek sosio antropologis,” ujar Gabriel.

Rangkaian diskusi dengan tema yang berbeda di tiap serinya pun diadakan bukan tanpa alasan. Bambang Purwoko selaku Ketua Gugus Papua dalam sambutannya pun menyampaikan bahwa rangkaian diskusi yang komperhensif tersebut nantinya akan menjadi bahasan untuk melakukan proses penyempunaan UU Otonomi Khusus Papua. (/Afn)