Mengamankan Indonesia dari Penyebaran Konten Berbahaya

Yogyakarta, 28 Juni 2022─Center for Digital Society UGM (CfDS UGM) bekerja sama dengan UNESCO mengadakan konferensi secara hybrid yang berjudul ‘Addressing Gaps in Regulating Harmful Content Online’ pada 28-29 Juni 2022. Acara ini merupakan bagian dari proyek Social Media 4 Peace yang didanai oleh Uni Eropa. Beberapa pembicara ahli dihadirkan dalam acara ini. Di antaranya Samuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal ICT Application, MOCI; Faiz Rahman, peneliti di CfDS UGM; Genoveva Alicia, peneliti di Institute for Criminal Justice Reform; dan Noudhy Valdryno, Manajer Kebijakan Publik, Indonesia dan Timor Leste dari Meta. Acara ini dipandu oleh Anisa Pratita Kirana Mantovani, peneliti di CfDS UGM.

Konferensi ini berfokus untuk menganalisis kesenjangan dan peraturan yang ada tentang peredaran konten yang berbahaya di internet, dimana hal ini merupakan masalah yang berkembang di berbagai platform media sosial di Indonesia. Acara ini dibuka oleh sambutan Ana Lomtadze, Spesialis Program untuk Komunikasi dan Informasi di UNESCO. Ana menjelaskan tentang proyek Social Media 4 Peace ini.

“Proyek Social Media 4 Peace bertujuan untuk memperkuat ketahanan komunitas lokal terhadap penyebaran konten berbahaya secara daring, khususnya ujaran kebencian dan disinformasi. Langkah pertama yang dilakukan oleh CfDS adalah melakukan penelitian untuk memahami penyebab mendasar, skala, dan dampak dari konten yang berbahaya, terutama terhadap komunitas yang terpinggirkan. Yang selanjutnya dilakukan adalah kerja sama antar pemangku kebijakan untuk media sosial, hal ini memungkinkan komunitas masyarakat sipil untuk memberi saran kepada platform media sosial untuk memoderasi konten,” ujar Ana.

Tinjauan literatur dan focus group discussion yang dilakukan oleh CfDS menunjukkan bahwa di Indonesia saat ini kerangka hukum tidak memadai dalam menangani masalah penyebaran konten yang berbahaya di Indonesia. Faiz Rahman, peneliti CfDS, mengatakan bahwa, “Tidak ada perbedaan yang jelas antara konten berbahaya dan ilegal. Definisinya masih berbeda, masih tidak terlalu jelas.”

CfDS juga menemukan celah dalam bagaimana cara pemerintah dan platform media sosial menangani konten berbahaya. Konten berbahaya ini didefinisikan secara berbeda oleh kedua pihak, sehingga ini menghasilkan tanggapan yang berbeda dari keduanya. Dalam kerangka hukum Indonesia, semua konten berbahaya dapat dituntut secara pidana. Sementara, berdasarkan penjelasan Noudhy Valdryno, platform media sosial seperti Meta menggunakan mekanisme lain. Contohnya menghapus konten, membatasi distribusi, dan menghapus penggunanya. Platform menekankan pentingnya peran pengguna untuk turut mengawasi penyebaran konten berbahaya di media sosial.

Fakta menarik turut dijelaskan oleh Genoveva, peneliti ICJR. Ia mengatakan bahwa, “Pasal pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia masih belum jelas. Peraturan yang seharusnya dapat melindungi kelompok rentan ini justru seringkali digunakan untuk menyerang kelompok rentan itu sendiri. Dalam melindungi kebebasan berekspresi, kita harus bisa menerima bahwa hal itu bisa saja menyinggung dan mengganggu kita. Namun bagaimanapun juga, kebebasan berekspresi harus tetap dilindungi,” ucap Genoveva.

Hari pertama konferensi ini terbuka untuk umum dan mempertemukan perwakilan dari pemerintah, masyarakat sipil, dan platform media sosial untuk memperdebatkan cara yang efektif dalam menangani konten-konten berbahaya. Hari kedua konferensi adalah sesi tertutup bagi kelompok dan platform masyarakat sipil untuk membahas langkah-langkah praktis menuju koalisi multi-pemangku kebijakan untuk media sosial dan untuk mendorong praktik moderasi konten yang dipimpin komunitas.

Acara ini juga memperkenalkan platform Anti Harmful Content: (https://antikontennegatif.id) yang merupakan hasil kerja sama antara UNESCO dan UGM. Melalui platform ini masyarakat dapat melaporkan konten berbahaya dan membantu penelitian, serta pemantauan di masa depan. (/AV)