Mengenang Sosok Cornelius Lay Sebagai Guru, Sahabat, dan Intelektual

Yogyakarta, 6 September 2020—Departemen Politik dan Pemeirntahan (DPP) FISIPOL UGM mengadakan diskusi “Mengenang Mas Conny: Pemikiran Intelektual Jalan Ketiga”. Diskusi ini sekaligus sebagai momentum peresmian buku berjudul Intelektual Jalan Ketiga. Diskusi dipantik oleh Pratikno, editor buku; Jaleswari Pramodhawardani, kontributor buku; dan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Diskusi dipandu oleh Abdul Gaffar Karim, dosen DPP FISIPOL UGM.

Buku Intelektual Jalan Ketiga merupakan bunga rampai pemikiran almarhum Prof. Dr. Cornelius Lay (CL) yang ditulis oleh kolega dan sahabat dalam rangka merayakan ulang tahunnya yang keenam puluh pada tahun lalu. Sebanyak hampir empat puluh orang berkontribusi dalam buku yang disusun dalam kurun waktu dua hingga tiga bulan ini. Intelektual Jalan Ketiga membahas mengenai pemikiran CL tentang demokrasi, desentralisasi, nasionalisme, dan reformasi keamanan.

Diskusi diawali dengan sambutan dari perwakilan keluarga yaitu Jeane Lay. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan laporan Laboratorium Big Data Analytics FISIPOL UGM yang melakukan analisis di media sosial, khususnya Twitter terkait perbincangan selama sebulan terakhir. Wegik Prasetyo, peneliti di Laboratorium Big Data Analytics mengungkapkan ide ini terpikir ketika CL wafat sebulan lalu, kemudian testimoni yang diberikan sahabat, kolega, dan keluarga diabdadikan dalam bentuk big data. “Hal menarik yang digunakan orang terdekat untuk mengenang Mas Conny adalah tiga kata, yaitu guru, sahabat, dan intelektual,” ungkap Wegik.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dari Pratikno selaku editor buku dan juga sahabat CL. Dalam tulisannya berjudul Mimpi Besar Anak Pasar, Pratikno menceritakan mengenai perjuangan CL untuk sampai kuliah di Yogyakarta. Pratikno menyebut, CL merupakan sosok yang membuka ruang melakukan mobilitas vertikal dari masyarakat lapis paling bawah untuk maju. “Hal lain yang perlu dipelajari dari CL adalah memberikan kontribusi sesuai apa yang dimiliki dengan tidak membelenggu diri dengan identitas sebagai intelektual,” tutur Menteri Sekertaris Negara pada Kabinet Indonesia Maju ini.

Jaleswari Pramodhawardani atau yang akrab disapa Dani, menceritakan bahwa menulis tentang CL tidak akan ada habisnya dan akan selalu ada pengulangan, sehingga gagasan tidak lagi menjadi orisinal. Selain itu, Dani mengutarakan bahwa buku ini memperlihatkan betapa luasnya minat dan perhatian CL mengenai politik, otonomi daerah, desentralisasi, Papua, militer dan keamanan. “Beragam pemikiran Mas Conny itu mengerucut pada satu hal, yaitu membangun demokrasi Indonesia yang sehat dan bermartabat,” sebut Dani.

Ganjar Pranowo banyak menceritakan mengenai kontribusi CL dalam perjalanan politiknya. Ganjar bahkan menyebut CL sebagai “kompor” karena merasa “dijerumuskan” oleh CL ke dalam politik dengan cara yang baik. Proses tersebut tidak dapat dilepaskan dari obrolan dan diskusi secara terus menerus hingga Ganjar sampai parlemen dan menjadi gubernur. “Seringkali Mas Conny seperti cara seorang guru, mengingatkan saya dalam jabatan publik utamanya dalam proses pengambilan keputusan,” tutur alumni Fakultas Hukum UGM ini.

Tidak hanya dari orang yang kolega, sahabat, dan keluarga, Gaffar juga membacakan komentar dari salah satu mahasiswa DPP yaitu Johanes Nadimjethro mengenai CL. Melalui kolom komentar, Johanes menyebutkan CL adalah sosok yang menginspirasinya. Bagi Johanes, CL merupakan sosok yang teguh untuk mempertahankan prinsipnya sebagai seorang intelektual. CL juga mendedikasikan seluruh kemampuannya untuk kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat di tengah hiruk-pikuk dunia yang penuh dengan godaan kekuasaan dan materi. “Prof. Conny merupakan ciri utama dari sosok pejuang-pemikir dan pemikir-pejuang,” tulis Johanes. (/anf)