Menilik Peluang dan Tantangan Cina dalam Ekspansi Kerja Sama Perdagangan

Yogyakarta, 11 Oktober 2019—Institute International Studies (IIS) UGM  kembali menyelenggarakan dikusi seri Beyond The Great Wall ke-lima bertajuk “Ekspansi Kerja Sama Cina: Peluang dan Tantangan” yang diselenggarakan di Ruang Sidang Dekanat pada Jumat silam.

Dikusi di termin pertama diisi oleh  Umi Qodarisasi, Dosen Progam Studi Pemikiran Politik IAIN Kudus yang membawakan materi  “The Rise of China In Africa”. “Afrika dipandang sebagai the rising countries yang  diprediksi perkonomiannya akan terus mengalami peningkatan, yang mendorong pertumbuhan ekonomi di Afrika sendiri adalah kemajuan di bidang teknologi dan komunikasi, pengaruh globalisasi, urbanisasi dan potensi penduduk usia muda untuk menjadi tenaga kerja,” tutur Umi.

Periodisasi kerja sama Cina dan Afrika sendiri dibagi menjadi tiga. Pertama, pada periode tahun 1949 hingga 1979 kerja sama berfokus pada penyediaan asistensi ekonomi kepada negara Afrika yang baru merdeka. Kedua, pada tahun 1979 hingga pertengahan 1990 berfokus pada dukungan terhadap bantuan ekonomi domestik. Ketiga,  pada pertengahan 1990 hingga sekarang berfokus pada  memanfaatkan pasar dan sumber daya domestik dan internasional.

Kerja sama ini pun dinamai Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC) yang merupakan platform kerjasama multilateral antara Cina dengan negara-negara Afrika. “FOCAC nyatanya membawa perubahan yang signifikan bagi hubungan Cina dengan negara-negara Sub Sahara Afrika dimana Cina menjadi mitra pembangunan utama bagi Afrika,” papar Umi. “Negara-negara yang dilalui di jalur Belt and Road Initiative (BRI) akan mendapat investasi yang lebih besar terutama dalam pembangunan infrastuktur dimana sektor utama investasi Cina di Afrika adalah transportasi dan energi,” tambah Umi.

Menurut Umi, tantangan BRI bagi negara-negara Afrika sendiri ada empat. Pertama, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkolerasi dengan kondusifitas kondisi politik negara, sehingga masing-masing negara Afrika yang ingin turut berpartisipasi dalam BRI harus dalam keadaan kondusif dan menerapkan good governance. Kedua, mendorong daya saing produk domestik dimana harus ada inovasi produk sehingga bisa bersaing dan mampu mengambil banyak manfaat dari interkonektivitas dari BRI . Ketiga,  intensifitas tenaga kerja dan yang terakhir depedensi dari negara-negara Afrika kepada Cina.

Melalui empat poin tersebut, tantangan dari kerja sama pun perlu memerhatikan banyak aspek. “Bantuan yang diberikan harus disertai pembangunan domestik dan digunakan secara proporsional agar tidak terjadi ketergantungan. Negara-negara Afrika harus membangun kedaulatan secara mandiri dan perkonomian secara mandiri agar tidak tejadi ketergantungan dan terhindar dari apa yang negara-negara barat khawatirkan sebagai bentuk neokolonialisme,” ujar Umi.

Selanjutnya, William Help selaku President of The Student Association of Belt and Road Initiative (SABRI) Universitas Gadjah Mada membawakan diskusi mengenai tensi Cina dengan Hong Kong. Tensi antara Cina dan Hong Kong terjadi mulai di tahun 2011 hingga yang terbaru adalah extradition law bill. Tensi Cina dan Hong Kong  menjalar pada tuntutan-tuntutan lebih seperti masalah pertanggungjawaban dari brutalitas polisi, peningkatan kebebasan demokrasi, dan pembebasan orang-orang yang ditahan polisi.

William memaparkan bahwa  kepentingan dan prioritas BRI di Hong Kong dapat dilihat melalui lima indikator yaitu ; people to people bond, financial integration, unimpeded trade, policy coordination, dan facilities connectivity. Keuntungan Hong Kong bagi BRI tidak hanya fokus pada sektor barang mentah, namun juga manufaktur.  Proyek BRI yang melibatkan Hong Kong sendiri berupa  trade and economic ties, innovation and technology, financial services, international logistics, shipping and transport.

Pengaruh tensi antara Cina dan Hong Kong terhadap BRI pun dapat dinalisis melalui alat analisa konflik bawang (onion tool) dengan melihat kebutuhan, kepentingan dan posisi dari masing-masing pihak. “BRI adalah kepentingan dari Cina dan Hong Kong. Cina dan Hong Kong sama –sama ingin meluaskan dan menyejahterakan  variable-variabel yang ada di setiap pihak yang berkonflik,” papar William.

“Selama posisi Beijing di Hong Kong masih terjaga dan memegang status quo, posisi BRI di Hong Kong memiliki tendensi untuk terganggu, kecuali dalam hal-hal yang bersifat lebih teknis. Meski demikian, BRI tentunya dapat memberikan dampak yang poistif terhhadap Hong  Kong sendiri,” tutur William yang menutup diskusi hari itu. (/Afn)