Yogyakarta, 18 Januari 2024–Menjelang pemilihan umum (pemilu) yang akan diadakan pada Februari 2024, penting bagi masyarakat untuk meninjau kembali mengenai iklim demokrasi di Indonesia. Yakni, terkait pertanyaan soal prinsip demokrasi yang sudah betul-betul terlaksana di Indonesia atau sekadar ‘demokrasi seolah-olah’ saja, sebagaimana Abdurrahman Wahid, yang kerap disapa Gus Dur, biasa mendeskripsikan era Orde Baru. Berangkat dari hal tersebut, Research Center for Politics and Government (PolGov) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM bersama dengan Jaringan GUSDURian berkolaborasi dalam menyelenggarakan Seminar Indonesia Rumah Bersama dengan tajuk “Tantangan & Masa Depan Demokrasi-Toleransi di Indonesia” di Auditorium Mandiri FISIPOL UGM pada Kamis (18/1). Acara tersebut juga bertepatan dengan Haul Gus Dur yang ke-14.
Amalinda Savirani, Kepala PolGov UGM, menilai bahwa demokrasi di Indonesia mengalami penurunan. “Nyatanya, kondisi demokrasi Indonesia hari ini oleh banyak ahli disebut mengalami regresi, mengalami penurunan. Cirinya ada tiga. Pertama, kebebasan sipil terus menurun. Kedua, adanya peningkatan polarisasi ideologi. Ketiga, penggunaan sistem hukum sebagai instrumen untuk menurunkan demokrasi dan menekan kelompok kritis,” ungkap Amalinda. Di sisi lain, dirinya juga menilai bahwa terdapat peluang untuk memperjuangkan demokrasi melalui masyarakat sipil yang resilien. Amalinda menyebut Jaringan GUSDURian sebagai salah satu contoh resiliensi tersebut.
Di samping masyarakat sipil yang resilien, kita tidak boleh mengabaikan aspek minimnya literasi yang dapat menjadi potensi pendorong melemahnya demokrasi. Hal tersebut disampaikan oleh Jay Akhmad, Koordinator Gardu Pemilu Jaringan GUSDURian, ketika memaparkan materi. Selain itu, literasi yang minim juga dibarengi dengan maraknya politik transaksional, mayoritarianisme, serta oligarki dan dinasti politik. Kondisi ini tentunya menjadi ancaman bagi demokrasi mengingat partisipasi masyarakat sipil merupakan elemen penting dalam demokrasi.
“Merespons hal tersebut, Jaringan GUSDURian melakukan upaya demokratisasi melalui gerakan Gardu Pemilu yang menjadi ruang terbuka bagi siapapun untuk melakukan edukasi publik terkait politik dan demokrasi dalam Pemilu 2024. Fungsi Gardu Pemilu GUSDURian adalah untuk edukasi publik terkait pemilu dan demokrasi, membangun jejaring dan advokasi dengan penyelenggara dan pengawas pemilu maupun tokoh agama dan masyarakat, serta monitoring penyelenggaraan pemilu,” jelas Jay.
Pembicara terakhir, Okky Madasari, seorang sastrawan sekaligus akademisi, menggarisbawahi aspek ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi dalam membicarakan tantangan demokrasi di Indonesia. “Ketimpangan ekonomi adalah gap antara yang miskin dan yang kaya. Ketika ini terjadi, kita tidak bisa bicara soal toleransi dan demokrasi. Kita harus bicara akar dari potensi kekerasan itu apa,” ujar Okky. Sudah terdapat banyak kasus kekerasan yang berangkat dari intoleransi antarkelompok yang berakar dari persoalan ketimpangan ekonomi. Menurut Okky, toleransi tidak dapat dibangun tanpa adanya keadilan ekonomi.
Kolaborasi antara POLGOV Fisipol UGM dan Jaringan GUSDURian ini mendukung SDGs 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan), serta SDGs 16 (Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh). (/tt)