Merespon Isu Rasisme Papua, PPKK Fisipol dan GTP UGM Gelar Diskusi Harmoni

Yogyakarta, 20 Juni 2020—Gejolak demonstrasi diskriminasi rasial dan rasisme terhadap Orang Asli Papua (OAP)kembali terjadi di Indonesia. Merespon permasalahan tersebut, Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM) dan Pusat Pengembangan Kapasitas dan kerjasama (PPKK) Fisipol UGM mengadakan diskusi bertajuk “Membangun Harmoni di Tengah Isu Rasisme dan Diskriminasi” secara daring pada Sabtu silam melalui Zoom dan ditayangkan secara langsung melalui  YouTube.

Jaleswari Pramodhawardani selaku Deputi V Kantor Staf Presiden memulai diskusi pertama dengan menegaskan bahwa Isu Papua tidak bisa disederhanakan menjadi  satu atau dua persoalan, juga bukan tentang HAM Keamanan maupun ekonomi sosial budaya saja. UUD 1945 Pasal 28I Ayat 2 serta UU Nomor 40 tahun 2008 tentang dikriminasi menjelaskan bahwa penghapusan dikriminasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah  namun juga seluruh komponen bangsa .

Maka dari itu, untuk melakukan Afirmasi Papua, pemerintah sejak awal telah memberi perhatian yang luar biasa dengan  pendekatan antropolgis, kesejahteraan dan evaluatif. “Dengan pendekatan antropologis  Masyarakat Papua harus dilibatkan dengan pendekatan budaya, maka Masyarakat Papua harus menjadi subjek yang penting dalam pembangunan. Pemerintah akan memastikan program prioritas terus berjalan, namun karena Papua sangat kompleks dan rumit, tidak bisa hanya mengandalkan lima sampai sepuluh  tahun,” ujar Dani.

Capaian nyata pembangunan di Papua pun terlihat dari Indeks Pembanguan Manusia (IPM) yang meningkat serta Produk Domestik Regional Bruto (PRDB) yang juga meningkat di Papua maupun Papua Barat. Selanjutnya, Marinus Yaung selaku Dosen Hubungan Internasional FISIP UNCEN membawakan diskusi “Membangun Indonesia yang Lebih Meng-Indonesia”. Bagi Marinus, penting untuk membangun Indonesia dari pinggiran terutama pada wilayah kemiskinan yang ekstrim, di desa pedalaman, perbatasan, dan daerah pesisir dan pulai kecil.

Hal tersebut pun dapat terwujud dengan cara membangun infrastuktur dasar dan penunjang. Namun tantangan utamanya adalah karakter bangsa yang perlu diperkuat. “Walaupun kita menggenjot infrstruktur masif tapi tidak membangun karakter dengan baik, nanti akan bias sasarannya. Otsus memang bagus, tapi berpotensi memunculkan raja-raja kecil di daerah, ini juga jadi masalah. Karakter manusia belum terbangun sehingga dana mudah diselewengkan,” ujar Marinus. “Tantangan berikutnya adalah etnonasionaisme, memperteguh kebhinekaan dan memperkuat tatanan perlu direstorasi lewat membuka ruang dialog lebih luas,” tambah Marinus.

Pembicara ketiga, Jemi Kudiai selaku Wasekjen DPP Jaringan Kemandirian Nasional juga menyampaikan bahwa  terjadinya laju eksploitasi SDA di Papua dan Papua Barat belum dikelola secara adil dalam mensejahterakan rakyat, penguasaan tanah dan hak-hak adat oleh multinasional corporation berskala besar juga makin meminggirkan ruang hidup masyarakat setempat. “Bahkan lapangan kerja dan kebutuhan pokok makin berkurang, ini memicu ketergantungan masyarakat kepada pihak luar, percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat perlu memberi peluang kepada masyarakat lokal agar masyaarakat dapat menikmati hasil pembangunan,” ujar Jemi.

Frans Maniagasi selaku pengamat masalah Papua dan Anggota Tim Asistensi RUU Otsus Papua 2001 pun juga bersepakat bahwa diskriminasi dan rasismme adalah akar masalah yang diabaikan sejak Indonesia merdeka sampai hari ini. Frans pun mengajak untuk berefleksi 57 tahun sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia. Frans pun melontarkan pertanyaan, “Apakah ada kemajuan signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan Orang Asli Papua?  Mengoreksi tindakan hari ini, kebijakan kepada Papua yang security approach-nya berlebihan dan perekonomiannya dikuasai korporasi besar tanpa ada korelasi dengan masyarakat Papua, kita butuh evaluasi Otsus yang telah berjalan selama 20 tahun,” ujar Frans.

Terakhir Amiruddin al-Rahab selaku Wakil Ketua Komnas HAM-RI, menyampaikan bahwa  persepsi tunggal tentang Papua lebih cepat tumbuh ketimbang langkah pemerintah. “Kalau sudah seperti itu,  hal-hal demikian tidak dapat diubah dengan cara bangun infrastuktur,”ujar Amir.

Pasalnya, identitas tunggal yang terjadi pada Orang Papua akan menimbulkan kekerasan karena orang akan memaksakan identitas tunggal tersebut pada siapapun. “Identitas  tidak terbentuk begitu saja, tapi berasal dari relasi politik.  Seperti politik apartheid di Afrika, koteks rasisme pasti punya unsur politik di dalamnya,” ujar Amir.

Bagi Amir, solusi dari masalah tersbut adalah adalah menghadirkan keadilan kembali. Perlu langkah konsisten bagi apatur pemegang hukum dan pemerintah agar hal yang diyakini dan dipahami sebagai masalah HAM bisa didudukan bersama.

Bambang Purwoko selaku Ketua Gugus Tugas Papua UGM pun menyampaikan, diskusi tersebut hadir untuk meningkatkan kesadaran masyarakat pada potensi destruktif terhadap rasisme, memperluas pemahaman terhadap rasisme, serta meningkatkan kesadaran terkait hak-hak manusia. ”Pembahasan isu rasisme sangat sensitif akhir-akhir ini, lewat diskusi ini kita mengajak membangun harmoni ditengah maraknya isu rasisme, dan mencari solusi bersama,” ucap Bambang. (/Afn)