Merespon Isu Konflik Papua, Fisipol Adakan Diskusi Papua dan Kebangsaan

Yogyakarta, 6 September 2019—“Papua belum sepakat tentang konsep kebangsaan, kalau kebangsaan modern sudah politik nation state, di sejarah Papua proses integrasinya aneksasi tanpa kesepakatan. Kita sudah ada dari dulu, kita perlu meluruskan sejarah Papua sebagaimana Bangsa Jawa, Bugis dan lainnya. Tuntutan Papua merdeka tidak akan diwujudkan oleh Jakarta, tapi referendum.  Berikan apa yang Papua mau!,“ sepotong kalimat tersebut dilontarkan oleh Frans, perwakilan Mahasiswa Papua yang hadir dalam forum diskusi yang bertajuk “Papua dan Kebangsaan” yang diselenggarakan pada Jumat silam di Digilib Café, Fisipol UGM.

Diskusi Jumat silam merupakan forum yang membahas isu kontemporer konflik Papua dari para ahli Fisipol. Lukman-nul Hakim, selaku Dosen Hubungan Internasional UGM pun mengantarkan diskusi yang dimulai oleh Mohtar Mas’oed, Guru Besar Hubungan Internasional UGM. “Penyebab konflik Papua maupun Papua Barat merupakan bentuk kekerasan yang kompleks,” ujar Mohtar.

Kekerasan tersebut berupa konflik langsung bersenjata, konflik stuktural ekonomi serta kekerasan kultural. “Dulu konflik terjadi antara state dengan warga, akhir-akhir ini justru warga versus warga. Antara pendatang dengan penduduk asli tercipta konflik dimana secara struktur ekonomi, tanah Papua merupakan penghasil banyak hal tapi yang menikmati hanya sedikit,” tambah Mohtar.

Latar belakang terebut mendorong warga untuk terbiasa kompetitif. “Kompetisi itu berbenturan dengan pemerataan. Competitiveness mensyaratkan kepentingan, kalau kepentingan tidak boleh, mana mau bersaing? Orang bersaing karena kepentingan dihalalkan. Competitiveness is the name of the game, sehingga muncul ada yang berhasil dan yang tidak. Hasilnya ada pembilahan, muncul persepsi ketidakadilan di masyarakat,” ujar Mohtar.

Subsidiarity dan Solidarity menjadi jalan untuk merawat martabat Papua yang sedang dihadapi masalah, pemerintah perlu memberikan kebebasan Papua untuk menentukan hidupunya namun juga tidak terjebak pada perpecahan. Selanjutnya, Gabriel Lele yang tergabung dalam Tim Gugus Tugas Papua membagikan pengalamannya. “Kalau ingin memahami Papua, Papua bukan hanya konstruksi monolitik, tapi jauh lebih beragam dibanding Indonesia sendiri,” ungkap dosen Manajemen Kebijakan Publik yang akrab dipanggil Gabby.

Selama ini, ada keberagaman yang dipaksakan menjadi satu. Papua yang konkret adalah Papua mini—bangsa kecil yang satu sama lain berbeda—sehingga sangat masuk akal ada konstruksi kecil tapi saling menafikan, sebagaimana orang pantai dan orang gunung. Ada juga konstelasi konflik antara asli dan pendatang. Konstruksi citizenship terlalu besar untuk Papua,” ujar Gabby.

Gencarnya pembangunan di Papua namun tetap memunculkan konflik pun dianalisis oleh Gabby. Pertama, ada tesis ideologis bahwa segencar apapun pembangunan, tidak ada pilihan lain kecuali merdeka. Kedua, developmentalist bahwa pesatnya pembangunan gagal memenuhi harapan masyarakat karena yang menikmati bukan masyarakat asli Papua.

“Terlepas niat baik pemerintah tapi tidak mejawab masalah, masyarakat seringkali hanya sekadar jadi penonton. Jangan lagi membangun Papua, tapi Papua mebangun, Papua harus jadi aktor,” tegas Gabby. Terakhir, Arie Sudjito selaku Dosen Sosiologi mengatakan, eskalasi masif terjadi karena keinginan sipil tidak terepresentasi. “Otonomi khusus (otsus) seharusnya sebagai jawaban sehinga desentralisasi lebih adil dan tidak berkutat pada administatif.  Kalau otsus cuma teknokratis, ya gak ada gunanya,”ujar Arie.

“Otsus memang mengubah keadaan tapi sangat inkremental dan instrumental di level tata kelola, tidak dibarengi dengan check and balances. Seberapa jauh negosiasi dengan civil society dilakukan? Atau malah hanya memberikan keadilan pada elit lokal dan nasional?,” tambah Arie.

Ia juga menganalisis bahwa dalam skema lebih besar ada kapitalisasi konflik. Pendekatan yang cukup represif menghilangkan sensitivitas lokal dan perlu diredam melalui pendekatan kultural dalam waktu dekat serta perubahan paradigma dalam waktu menengah.

Di penghujung acara, perwakilan masyarakat Papua pun memberi pertanyaan dan aspirasi. Diskusi ini menjadi wadah reflektif Fisipol UGM sebagai insitusi akademik yang memiliki tugas pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. (/Afn)