Ngabuburit Ramadan di Fisipol : Merancang Self-Development Lewat Kaidah Mengenal Diri

Yogyakarta, 14 Mei 2020—Ramadan di Fisipol (RDF) yang diselenggarakan oleh Jamaah Muslim Fisipol (JMF) UGM kembali menghadirkan diskusi bertajuk  “Individual Development Plan” bersama Isnan Hidayat dari Petakehidupan.id yang membahas ‘Kaidah Mengenal Diri’ secara daring melalui WhatsApp Chat Group.

Kaidah mengenal diri yang pertama dimulai dengan ‘Membanding-bandingkan akan berujung pada ketidakbersyukuran’. Disampaikan Isnan, jika seseorang berubah karena membandingkan diri dengan orang lain, yang akan muncul adalah motivasi eksternal, yaitu bergerak untuk melakukan sesuatu karena ingin mendapatkan apa yang orang lain miliki. “Kelihatannya performa kita akan jadi baik, tapi berisiko membuat kita terjebak pada perasaan hasad (iri hati) yang akhirnya membuat kita tak akan pernah mensyukuri nikmat yang kita dapat,” ujar Isnan.

“Sehebat apapun karya yang kita hasilkan, kita akan menoleh ke samping untuk melihat bagaimana orang lain juga lakukan, akhirnya kita selalu melihat ada orang yang achievement-nya lebih keren dari kita. Dan pada saat itu juga, masterpiece yang sudah berdarah-darah kita perjuangkan seolah menjadi hilang maknanya karena masih ada perasaan kurang dalam hati kita,” ujar Isnan.

Maka bagi Isnan urusan niat menjadi fardhu ain untuk disiapkan sejak awal ketika akan bergerak dan berkontribusi. “Jangan sampai nanti saat kita mengevaluasi, setelah puluhan tahun menjadi akademisi, ratusan artikel jurnal terindeks scopus yang ditulis beserta ribuan sitasi, menjadi tak bernilai di hadapan Allah karena hati kita masih dipenuhi rasa dengki dan iri. Ternyata di hati kita ada lubang yang menganga. Merasa kurang dan senantiasa membanding-bandingkan berakar dari rasa ketidakbersyukuran,” ujar Isnan.

“Maka teman-teman, fokuslah pada satu hal: Be the best version of you. Allah menciptakan kita dengan segala kesempurnaan yang ada, jangan sampai kemuliaan berproses menjadi terhempas sia-sia karena kita menjadikan achievement orang lain sebagai tolok ukur kebahagiaan kita,” tambah Isnan.

Kaidah Kedua adalah seringnya terjebak pada virus personal branding. “Kita khawatir jika terlihat jelek di mata publik, lalu memilih untuk menampilkan yang terbaik padahal tidak nyata dan tidak diikuti dengan perbaikan yang serius untuk memperbaiki kekurangan kita,” ujar Isnan.

“Tanpa disertai dengan mengenal diri, kita akan terjebak pada slogan-slogan palsu, citra diri yang semu  dan membuat kita semakin terlena karena terpukau dengan topeng yang kita ciptakan sendiri. Kita semakin tidak mengenal wajah asli diri sendiri. Kita perlu kritis terhadap akun social media kita hari ini, untuk apa sebenarnya kita mencitrakan diri secara berlebihan,” ujar Isnan.

Kaidah ketiga adalah seringnya kita membiasakan diri untuk mencari kebahagiaan di luar diri. “Seolah-olah kebahagiaan adalah barang yang hilang, sehingga  kita harus menempuh jalan panjang untuk menemukannya.  Kita lupa, sejak awal kebahagiaan itu sudah melekat ke dalam diri kita. Kita hanya butuh untuk menyadari letaknya ada dimana,” terang Isnan.

“Jika kita masih menentukan adanya ribuan syarat untuk bahagia, kita akan menjadi seseorang yang rawan dan rentan terluka. Kita menciptakan hukum-hukum sendiri yang sebenarnya tidak ada. Bahwa kita harus kaya dulu baru bahagia, harus kerja dengan gaji dua digit dulu baru bahagia, harus berstatus X dulu baru bahagia dan ujungnya adalah Quarter Life Crisis,” ujar Isnan.

“Saat kita merasa sudah mendapatkan semuanya namun dalam hati masih terasa hampa. Cukupkan dengan mengenal diri seutuhnya,  karena bahagia itu sederhana. Barangsiapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhan-nya. Begitulah Yahya bin Muadz ar Razi berkata,” terang  Isnan.

“Menemukan kekuatan diri akan menuntun kita menemukan True Calling, sebuah Panggilan Sejati. Jenis perbekalan akan bisa digunakan untuk memprediksi tujuan sebuah perjalanan. Misalnya kalau Allah menganugerahkan diri kita daya analisis yang tajam, kemampuan menyusun argumen, dan kecerdasan dalam beretorika, jangan ragu untuk berada di atas panggung menjadi agitator bagi perubahan sosial,” ujar Isnan.

Di akhir, Isnan memberikan pernyataan penutup diskusi. “Allah itu terbebas dari sifat melakukan perbuatan sia-sia, termasuk ketika menganugerahkan diri kita berbagai potensi yang ada, pasti ada maksud dibaliknya. Maka memahami perbekalan berupa potensi diri adalah sebuah faktor kunci untuk proses pengembangan diri. Tugas kita dimulai dari sini: Menemukan bekal yang selama ini sudah Allah titipkan pada diri kita,” ujar Isnan menutup diskusi yang diikuti 60 peserta tersebut. (/Afn)