[OPINI] Roblox dan Ruang Digital Anak: Dosen UGM Soroti Literasi Digital dan Tanggung Jawab Platform

Yogyakarta, 19 Agustus 2025─Fenomena gim daring Roblox yang kini digemari anak-anak Indonesia menuai perhatian publik, terutama terkait potensi risiko dan keamanan ruang digital bagi generasi muda. Menanggapi hal tersebut, Dr. Adrian Indro Yuwono, S.I.P., M.A., atau akrab disapa Mas Dadok, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menekuni kajian budaya dan media baru, menekankan pentingnya literasi digital serta tanggung jawab berbagai pihak dalam melindungi anak-anak di ruang maya.

Menurut Adrian, Roblox tidak hanya menjadi medium hiburan, tetapi juga ruang kreatif yang memungkinkan pengguna membuat konten (user generated content) dan berinteraksi dalam dunia digital buatan. “Layaknya platform digital lain, Roblox memberi ruang kreativitas bagi penggunanya. Jadi kalau soal risiko itu sama seperti sosmed dan platform digital lainnya, bisa saja ada sexual assult, scam, atau risiko ekploitasi. Bedanya di Roblox para pengguna bisa saling berinteraksi tapi anak-anak seringkali tidak menyadari risiko tersebut,” jelasnya.

Menanggapi kebijakan baru Roblox yang mewajibkan verifikasi identitas untuk mengakses fitur sosial tanpa filter, Adrian menilai langkah ini belum sepenuhnya efektif di konteks Indonesia. Dalam wawancara Adrian mengatakan, “Kalau orang ingin menipu, tetap bisa. Tantangannya adalah rendahnya literasi digital masyarakat. Banyak orang tua tidak memahami konten yang dikonsumsi anak. Misalnya, anak usia lima tahun diberi gim GTA tanpa kesadaran akan bahaya di dalamnya”.

Adrian menekankan bahwa kebijakan verifikasi semacam ini lebih tepat dipandang sebagai peringatan awal dari perusahaan, bukan solusi final. Tanpa literasi digital yang memadai, kebijakan tersebut tidak akan mampu melindungi anak sepenuhnya.

Adrian juga menyoroti tanggung jawab sosial platform digital. Menurutnya, Roblox perlu membangun mekanisme perlindungan layaknya YouTube Kids. “Harus ada sensor atau penyaringan ruang yang boleh diakses anak-anak, serta sistem pelaporan yang kuat. Self-regulate harus diperkuat agar konten berbahaya bisa cepat ditindak,” ujarnya.

Meski demikian, ia menilai tanggung jawab tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada platform. Peran orang tua tetap menjadi kunci. “Orang tua sering kali berpikir semua gim itu otomatis ramah anak. Padahal tidak. Pendampingan orang tua menjadi sangat penting, apalagi untuk Generasi Alpha yang masih sangat muda,” imbuhnya.

Dalam jangka panjang, Adrian menawarkan sejumlah langkah strategis untuk menciptakan ruang digital yang sehat bagi anak-anak. Pertama, peningkatan literasi digital orang tua melalui program edukasi yang dapat dijembatani pemerintah bersama akademisi dan komunitas, seperti Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI). Kedua, kebijakan yang berfokus pada penguatan sumber daya manusia, bukan sekadar pemblokiran. Menurutnya, pengguna roblox dapat melatih komputasi pendidikan melalui pembuatan konten atau ruang bermain bagi player lainnya.

“Di dalam Roblox ada potensi ekonomi kreatif Gen Alpha yang besar. Ada praktik coding, pengembangan konten, hingga monetisasi. Jadi, kebijakannya harus mengatur alur ekonomi digital dengan logika yang jelas bukan hanya blokir sepihak,” jelasnya.

Selain itu, Adrian menekankan pentingnya edukasi tentang risiko interaksi digital. “Anak-anak cenderung menganggap semua orang yang ditemui di gim sebagai teman. Padahal, bisa saja mereka berhadapan dengan predator atau pelaku kejahatan digital. Itu krusial untuk disadari,” pungkasnya.

Fenomena Roblox ini menunjukkan bahwa ruang digital anak bukan sekadar soal hiburan, tetapi juga mengandung kreativitas, ekonomi, dan keamanan. Adrian menegaskan bahwa menciptakan ekosistem digital yang aman dan inklusif membutuhkan kolaborasi antara platform, negara, kemitraan masyarakat sipil, dan peran keluarga (/noor).