OPOSiT #8: Obrolan dan Opini Seputar Kekerasan Seksual di Media Sosial

Yogyakarta, 9 September 2020—Masih dalam rangka membahas kekerasan seksual yang terjadi di media sosial—yang merupakan salah satu bentuk dari kekerasan berbasis gender online atau KBGO—Center for Digital Society pun mengangkat topik tersebut Obrolan dan Opini Seputar Dunia Digital (OPOSiT) ke-8. Dipandu oleh Irnasya Shafira, Research Associate CfDS, diskusi ini merupakan lanjutan dari Digital Discussion yang sebelumnya diadakan dengan mengangkat topik serupa, yaitu “Stop Sexualizing Other People on Social Media” yang menghadirkan Co-Founder dari Tabu.id. Sebagai moderator, Ines sudah mengajak beberapa orang yang ia anggap sesuai untuk bergabung dalam episode OPOSiT kali ini. Namun, Ines juga menyampaikan bahwa tidak menutup kemungkinan untuk mengajak para penonton sesi siaran langsung OPOSiT yang ingin bergabung untuk ikut membagikan cerita dan opininya.

Orang pertama yang berbagi dalam episode OPOSiT kali ini adalah Tasya, teman Ines yang sangat peduli dengan isu-isu perempuan dan anak. Tasya sendiri melihat bahwa sebenarnya saat ini tingkat KBGO khususnya kekerasan seksual yang terjadi di media sosial semakin mengalami peningkatan. Contoh yang paling mudah ditemukan adalah komentar-komentar di akun influencer. Namun, Tasya menegaskan bahwa kekerasan seksual di media sosial juga bisa banyak sekali contohnya, tidak terbatas hanya komentar-komentar tidak pantas. Bahkan, hal-hal yang dianggap kecil dan sering dilakukan secara tidak sadar dan berkelanjutan seperti melalui meme dan stiker di aplikasi chat. Dari sini dapat dilihat bahwa KBGO khususnya kekerasan seksual di media sosial ini masih sangat buram batasannya, dan Tasya menjelaskan bahwa masih sedikit yang membahas mengenai batasan-batasan ini.

Berbeda dengan Tasya yang lebih banyak membicarakan seputar kekerasan seksual di media sosial secara teoritis dan definitif, Vanesha—orang kedua yang membagikan opini dan ceritanya—lebih banyak berbicara dari sudut pandangnya selaku korban. Ia juga membagikan pengalaman kekerasan seksual yang pernah menimpanya di akun media sosialnya. Kejadian ini Vanesha alami di akun Twitter sampingannya—atau lebih biasa disebut dengan second account. Akun tersebut biasanya ia gunakan untuk sambat, mengkritik, dan mengomentari suatu peristiwa. Ia juga tidak menampilkan foto wajahnya sepenuhnya, tetapi ia kerap kali mendapatkan pesan dari laki-laki yang berbau ajakan seksual. Bahkan, selain di Twitter, ia juga pernah mengalami kekerasan seksual di Whatsapp., secara tiba-tiba ia mendapatkan panggilan tidak dikenal.

Menanggapi cerita Vanesha, para peserta OPOSiT ada yang berkomentar bahwa biasanya para pelaku merupakan penyuka pornografi, dan hal tersebut dibenarkan oleh Vanesha. Saat ia melihat profil akun yang mengiriminya pesan tidak pantas, ia melihat bahwa akun tersebut banyak menyimpan video porno. Ines, sang moderator, melihat pornografi sebagai bahan bakar yang memicu seseorang melakukan kekerasan seksual di media sosial. Seorang peserta menanggapi pandangan ini melalui kolom komentar. Pada akhirnya, ini kembali lagi ke pola pikir, seseorang bisa saja menonton video porno tetap jika ia memang tidak berpikiran mesum, ia juga tidak akan melakukan kekerasan seksual di media sosial, tulis salah seorang peserta. Sementara itu, Vanesha melihat fenomena ini dapat terjadi sesederhana karena sang pelaku melihat sang korban sedang online, dan dari situ pelaku menjadikan korban sebagai target kekerasan seksual di media sosial. Pada akhir pemaparannya, Vanesha berpesan bahwa baik laki-laki dan perempuan jangan melakukan kekerasan seksual pada siapa pun.

Setelah menghadirkan dua pembicara yang berbagi dari sudut pandang perempuan, orang terakhir yang bergabung untuk berbagi cerita dan opininya di OPOSiT kedelapan—Ardi—berusaha memaparkan isu ini dari sudut pandang laki-laki. Menurut Ardi, edukasi seks mengambil peranan penting dalam isu ini. Banyak orang, khususnya anak-anak sekarang, yang memiliki keingintahuan yang tinggi sehingga mendorong mereka untuk mencoba hal-hal baru tanpa mengetahui efek jangka pandang. Jika orang-orang yang sudah mengetahui efeknya akan cenderung bisa mengontrol dan lebih konsensual, orang-orang yang tidak mengetahui ini justru sering memaksa dan mendoktrin, kemudian berdampak salah satunya pada melakukan kekerasan seksual di media sosial. Untuk itu, Ardi menekankan pada pentingnya edukasi seks bagi tiap individu, termasuk juga dampak jangka panjang jika melakukan kekerasan seksual di media sosial.

Ines, di akhir penjelasan dari Ardi menekankan bahwa selain kurangnya edukasi seks, kekerasan seksual di media sosial juga bisa terjadi karena rendahnya literasi digital seseorang. Keseluruhan sesi diskusi berjalan dengan sangat santai, tetapi substansi topik masih tetap tersampaikan dengan jelas dan tegas. OPOSiT episode kedelapan pun ditutup dengan pembacaan komentar dari Tasya pada pukul 20.00 WIB. (/hfz)