Pelecehan Seksual dalam Aksi Massa dan Politik Tubuh Para Penguasa

Yogyakarta, 4 September 2018-Maraknya kasus pelecehan seksual terhadap wanita dalam beberapa bulan ke belakang membuat MAP Corner kembali menggelar diskusi dengan tema “Aksi Massa, Aparat & Pelecehan Seksual” di Gedung Magister Administrasi Publik, FISIPOL unit II pada Selasa (4/9). Diskusi ini diselenggerakan terutama setelah adanya kasus yang menimpa Anindya Sabrina, seorang Mahasiswi Surabaya yang menjadi korban pelecehan seksual oleh aparat ketika selesai mengikuti undangan diskusi dan screening film “Biak Berdarah” di Asrama Papua, Jalan Kalasan No. 10 Surabaya pada 6 Juli 2018. Sabrina sendiri menjadi salah satu pemantik diskusi MAP Corner minggu ini bersama dengan Pipin Jamsom, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM. Jalannya diskusi dimulai dengan pemaparan kronologis kasus yang menimpa dirinya oleh Sabrina, dilanjutkan dengan analisis politik dari pelecehan seksual oleh aparat negara dan relasi kuasa yang ada oleh Pipin, kemudian diakhiri dengan sesi tanya jawab dengan audiensMenurut Sabrina, kasus pelecehan terhadapnya oleh aparat kepolisian tidak bisa dilihat sebagai kasus yang berdiri sendiri. Ia merasa dirinya sudah menjadi target dan diawasi sejak melakukan advokasi terhadap warga Keputih korban penggusuran di Surabaya bulan Desember lalu. Dirinya pun sempat dilempari dengan botol kaca oleh seseorang tak dikenal yang kemungkinan besar merupakan oknum aparat. Kemudian ia diundang untuk menjadi pembicara dalam screening film berjudul biak berdarah di asrama mahasiswa Papua. Setelah diskusi selesai, asrama dikepung oleh aparat dari berbagai elemen mulai birokrasi kecamatan, Satpol PP, hingga densus. Aparat mengaku bahwa mereka sedang melakukan operasi yustisi namun ketika diminta surat perintah mereka tidak dapat menunjukkannya. Sabrina beserta dua orang temannya kemudian diprovokasi oleh sebagian aparat lalu terjadilah pelecehan seksual terhadap sabrina dan seorang temannya.

“Jadi waktu itu ada provokasi dari pihak aparat dengan menggunakan kata-kata kasar, kemudian mereka mendorong kita bertiga dan disitulah dada saya dipegang oleh aparat. Ketika saya lihat mukanya saya ingat pernah bertemu dia waktu advokasi di Keputih dan ia mau melempar saya dengan botol kaca. Jujur saya waktu itu sempat membatu dan gak bisa ngomong apa-apa, tapi kemudian saya memberanikan diri untuk menuliskan kronologi pelecehan tersebut di media sosial lewat handphone saya” tuturnya.

Setelah menuliskan kronologi tersebut Sabrina justru mendapat ancaman balik oleh pihak aparat yang mengatakan ia menyebarkan hoax. Menurut Kapolrestabes Surabaya yang terjadi hanyalah operasi yustisi biasa, tidak ada pembubaran diskusi apapun. Sabrina juga diminta untuk bertemu dengan Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS) di asrama tersebut, namun mereka bukan membela malah justru memojokkan Sabrina. Pasalnya, ketua IKBPS yaitu Piter Frans Rumasek merupakan trantib Satpol PP Surabaya. Bahkan Piter merasa telah dicemari nama baiknya oleh Sabrina dan mengajukan kasusnya dengan gugatan pelanggaran UU ITE Tentang Pencemaran Nama Baik. Hingga saat ini Sabrina masih terjerat kasus tersebut dan diancam 4 tahun penjara.

Kasus Sabrina bagi Pipin Jamsom menggambarkan salah satu kasus dari rantaian kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan yang dipolitisasi oleh aparatur negara yang dapat dilacak secara genealogis dari zaman kolonial, orde baru hingga masa reformasi sekarang ini. Padahal dari perspektif HAM, kebebasan untuk berpendapat dan berkumpul itu di jamin oleh hukum. Kemudian terdapat miskonsepsi bahwa aksi harus mendapatkan izin dari aparat, padahal menurutnya yang diperlukan adalah surat pemberitahuan dan Polisi atau aparat negara lain tidak memiliki hak untuk menolaknya. Namun sayangnya sering kali aparat melakukan represi dengan dalih menganggu ketertiban umum. Dalam upaya represi juga kekerasan marak digunakan oleh aparat sebagai senjata meredam demonstran padahal polisi tidak berwenaang sama sekali untuk memukul demonstran, melakukan pelecehan seksual dan keluar dari barisan untuk mengejar demonstran secara individu.

Pipin menjelaskan pula mengapa perempuan selalu menjadi korban kekerasan seksual terutama dalam konteks aksi massa, dimana relasi kuasa dalam politik tubuh (body politic) memegang peranan penting. Menurutnya tubuh merupakan sebuah situs dimana penindasan dapat terjadi, dengan menyerang tubuh sebuah rezim berkuasa dapat menandakan otoritas mereka dengan meninggalkan jejak-jejak kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Terlebih lagi jika kita melihat konteks masyarakat Indonesia yang menganggap kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan sebagai sebuah aib, semakin meningkatkan efektifitas dari penanda tersebut. Korban pelecehan biasanya akan ragu untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada mereka karena stigma buruk yang menempel pada status “korban pelecehan dan pemerkosaan”. Terlebih jika ingin menempuh jalur hukum, salah satu bukti yang ditanyakan adalah identitas sang korban yang mana menjadi dilema untuk menyerahkan dan mendapat stigma atau diam dan membiarkan ketidakadilan lepas tanpa hukuman.

“Wanita yang berpolitik dipaksa untuk masuk dalam kotak norma yang berlaku. Ketika terjadi pelecehan, rezim menginjak-injak dan melecehkan tubuh perempuan untuk menandakan otoritasnya, agar perempuan tidak usah ikut campur dalam politik. Penginjak-injakan tersebut merupakan upaya humiliation, subjugasi dan subordinasi para perempuan dengan menekan psikologis dan martabat mereka. Menurut saya perlu dicatat ucapan Sabrina tadi bahwa ia pun sempat membatu ketika dilecehkan, itu yang diincar oleh para penguasa” ucap Pipin.

Sebagai penutup, kedua pembicara mengutarakan solusi yang disarankan dalam situasi demikian. Menurut kedua pembicara yang terpenting adalah support system yang mumpuni dalam mengatasi permasalahan tersebut. Sabrina sendiri merasa bersyukur memiliki keluarga yang pengertian dengan apa yang dihadapinya, ayahnya sendiri pun melihat yang terjadi di asrama secara langsung dan mendukung Sabrina untuk menyuarakan pelecehan yang dialaminya. Ditekankan oleh Pipin pula, keluarga menjadi kunci bagi korban dalam menghadapi kasus pelecehan, “Jangan sampai keluarga malah memperparah kondisi psikologis dengan memberikan stigma pada sang korban” pungkas Pipin. (/Aaf)